DARI perspektif akidah, Islam memperkenalkan konsep keesaan Tuhan. Dan, itu dimulai dari keberadaan Nabi Muhammad di Makkah, di tengah masyarakat yang masih jahiliyah yang menganut paganisme. Selama 13 tahun, Nabi Muhammad bersosialisasi di Makkah dengan menawarkan prinsip teologi la ilaha illa Allah. Di samping secara teologis, bermakna penegasan tidak ada Tuhan yang absolut kecuali Allah, pernyataan keimanan ini juga memberikan dampak sosial politik. Yaitu, manusia dibangun atas dasar kebersamaan, kebebasan, dan persamaan derajat (al-musawah bain al-nas).
Nabi Muhammad lalu hijrah ke Yatsrib. Ia dinamakan Yastrib karena yang pertama datang dan membangun kota itu adalah seseorang yang bernama Yastrib ibn Laudz ibn Sam ibn Nuh
Masyarakat Kota Yatsrib cukup beragam. Ada sejumlah suku dominan yang mendiami kota itu, yaitu suku Aus, Khazraj, Qainuqa’, Quraidlah, dan Bani Nadhir.
Penduduknya pun menganut beragam agama, yaitu Islam, Yahudi, dan sebagian kecil Kristen Najran. Dalam masyarakat Islam sendiri terdapat dua kelompok, yaitu kaum imigran (Muhajirin) dan warga asli (Anshar).
Pola interaksi yang dibangun Islam sejak awal berupa dinamisasi yang mengedepankan pola uswah hasanah. Yakni, berdasar pada moralitas dan contoh teladan yang baik. Pendekatan moralitas ini menuntut umat Islam untuk selalu menjadi uswah atau teladan yang baik bagi lingkungan sekitarnya. Tak heran jika sejak awal eksistensinya di Makkah, umat Islam sudah akomodatif dan kreatif. Metode uswah al-hasanah adalah gerakan beragama yang bersifat soft power, yaitu menjunjung tinggi keteladanan, moralitas, pembelaan terhadap kaum duafa, dan penegakan hak-hak asasi manusia.
Praksis dakwah Islam ini merupakan bagian dari proses pembangunan moralitas (itmam al-khuluq). Ajaran Islam tidak pernah digunakan untuk melakukan tindakan anarkis, seperti pemaksaan, intimidasi, atau terorisme.
Syariat berasal dari kata syara’, berarti jalan. Syariat dapat diartikan sebagai jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diaplikasikan secara fungsional dan dalam makna konkret untuk mengarahkan kehidupan manusia. Maka, yang dimaksud syariat Islam adalah tuntunan Islam yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Yakni, mulai moralitas, seruan pada penegakan hukum, keadilan, menciptakan kemakmuran, dan upaya meningkatkan sumber daya manusia.
Di masa Nabi Muhammad, syariat menampilkan dua aspek dalam dirinya, yaitu aspek eksoterik dan esoterik. Sisi eksoterik syariat Islam, seperti kewajiban puasa, zakat, atau haji baru sempurna ketika kondisi sosial politik serta ekonomi masyarakat Madinah sudah sampai ke situasi stabil dan kukuh. Dari kondisi plural ini lahirlah “Negara Madinah”. Konsep Negara Madinah tertuang dalam al-Shahifah (Piagam Madinah) yang mengandung nilai universalitas: keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama di mata hukum.
Dalam Piagam Madinah ini tidak ditemukan teks-teks apa pun yang menunjukkan superioritas simbol-simbol Islam. Seperti kata “Islam”, “ayat Alquran” atau “syariat Islam”. Kota Yatsrib pun berganti nama menjadi “Madinah”, yang berasal dari kata tamaddun, yang berarti “peradaban”. Maksudnya, kota atau negara yang mencita-citakan tatanan masyarakat berperadaban. Dan, untuk mewujudkannya, Nabi Muhammad mengembangkan konsep ukhuwah madaniyah. Yakni, komitmen bersama untuk hidup dalam sebuah kota atau negeri yang berperadaban.
Dalam kerangka ukhuwah seperti ini, masyarakat Madinah betul-betul merasa betah dengan pola penegakan syariat Islam yang dipraktikkan Nabi Muhammad di Madinah. Misalnya, ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh, Nabi Muhammad segera memobilisasi dana masyarakat untuk kemudian diberikan kepada pihak keluarganya. “Barang siapa yang membunuh nonmuslim, maka ia akan berhadapan dengan saya,” tegas Nabi.
Melalui pengalaman Nabi Muhammad di Madinah ini, syariat Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta tanah air, serta mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Dari pengertian inilah, Islam pun dikenal dengan penegakan syariat secara kaffah. Dalam Alquran sendiri, tidak kita jumpai kata-kata “umat Islam”. Apalagi, kata-kata “negara Islam”. Alquran lebih memerintahkan untuk membangun ummatan wasathan dan khoiru ummah.
Ada lagi aspek hadlarah (kebudayaan) dan tsaqafah (peradaban). Kita perlu mempertimbangkan aspek ilmu pengetahuan dan peradaban. Maka, di sini berlaku Islam sebagai din al-’ilm wa al-tsaqafah. Islam tidak hanya berputar-putar pada persoalan akidah dan syariah yang selama ini sering diperdebatkan dan bahkan menghasilkan tindakan radikalisme agama dan juga terorisme.
Dalam aspek tsaqafah dan hadlarah ini, Islam mengajar kita bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif dan produktif. Ketika Islam membangun peradaban di wilayah yang dulu dikenal dengan Andalusia (Spanyol), sejarah menorehkan tinta emas tentang pencapaian-pencapaian yang diraih para ulama dan cendekiawan dari berbagai kalangan penganut agama.
Kebenaran itu adalah milik bersama. Dari mana pun dia berasal, kita akan menerimanya. Ini yang ditunjukkan dalam pengalaman sejarah umat Islam yang mengadopsi, misalnya, bentuk kubah dan menara dalam bangunan masjid. Padahal, kubah berasal dari bentuk bangunan khas Romawi, sementara menara dari Persia. Menara berasal dari kata manara, yang berarti tempat perapian orang-orang Majusi.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, interaksi umat Islam dengan tradisi pengetahuan Yunani-Romawi dan Persia, melapangkan jalan bagi mereka untuk membangun peradaban agung di beberapa belahan dunia. Ilmu manthiq atau logika yang menjadi kebanggaan tradisi keilmuan Islam, adalah produk perjumpaan umat Islam dengan tradisi non-Islam. Ajakan Nabi untuk menuntut ilmu hingga ke negeri China, menjadi pemicu bagi kebangkitan tsaqafah dan hadlarah di kalangan umat Islam itu.
Islam memang datang dari negeri Arab. Kata Arab secara etimologis berarti menggelinding atau bergerak. Ini mengisyaratkan kalau kehadiran Islam akan terus bergerak dinamis, bukannya statis atau stagnan.
Jelaslah bahwa tsaqafah dan hadlarah akan terbangun dari manusia-manusia yang aktif dan produktif. Dan, di situlah hikmah manusia diciptakan. Dia akan belajar, mencari, dan memetik pelajaran dan kebenaran dari mana pun asalnya. Dua aspek ini yang kerap dilupakan, sehingga membuat umat Islam ketinggalan dalam kompetisi membangun peradaban dewasa ini. Saya istilahkan umat Islam sebenarnya “nonmuslim” dalam bidang tsaqafah dan hadlarah. Sedangkan orang-orang Barat adalah “nonmuslim” dalam bidang akidah dan syariah. (*)
Sumber : Jawa Pos Jum’at, 02 Oktober 2009
Oleh : Said Aqiel Siradj, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU)
Nabi Muhammad lalu hijrah ke Yatsrib. Ia dinamakan Yastrib karena yang pertama datang dan membangun kota itu adalah seseorang yang bernama Yastrib ibn Laudz ibn Sam ibn Nuh
Masyarakat Kota Yatsrib cukup beragam. Ada sejumlah suku dominan yang mendiami kota itu, yaitu suku Aus, Khazraj, Qainuqa’, Quraidlah, dan Bani Nadhir.
Penduduknya pun menganut beragam agama, yaitu Islam, Yahudi, dan sebagian kecil Kristen Najran. Dalam masyarakat Islam sendiri terdapat dua kelompok, yaitu kaum imigran (Muhajirin) dan warga asli (Anshar).
Pola interaksi yang dibangun Islam sejak awal berupa dinamisasi yang mengedepankan pola uswah hasanah. Yakni, berdasar pada moralitas dan contoh teladan yang baik. Pendekatan moralitas ini menuntut umat Islam untuk selalu menjadi uswah atau teladan yang baik bagi lingkungan sekitarnya. Tak heran jika sejak awal eksistensinya di Makkah, umat Islam sudah akomodatif dan kreatif. Metode uswah al-hasanah adalah gerakan beragama yang bersifat soft power, yaitu menjunjung tinggi keteladanan, moralitas, pembelaan terhadap kaum duafa, dan penegakan hak-hak asasi manusia.
Praksis dakwah Islam ini merupakan bagian dari proses pembangunan moralitas (itmam al-khuluq). Ajaran Islam tidak pernah digunakan untuk melakukan tindakan anarkis, seperti pemaksaan, intimidasi, atau terorisme.
Syariat berasal dari kata syara’, berarti jalan. Syariat dapat diartikan sebagai jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diaplikasikan secara fungsional dan dalam makna konkret untuk mengarahkan kehidupan manusia. Maka, yang dimaksud syariat Islam adalah tuntunan Islam yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Yakni, mulai moralitas, seruan pada penegakan hukum, keadilan, menciptakan kemakmuran, dan upaya meningkatkan sumber daya manusia.
Di masa Nabi Muhammad, syariat menampilkan dua aspek dalam dirinya, yaitu aspek eksoterik dan esoterik. Sisi eksoterik syariat Islam, seperti kewajiban puasa, zakat, atau haji baru sempurna ketika kondisi sosial politik serta ekonomi masyarakat Madinah sudah sampai ke situasi stabil dan kukuh. Dari kondisi plural ini lahirlah “Negara Madinah”. Konsep Negara Madinah tertuang dalam al-Shahifah (Piagam Madinah) yang mengandung nilai universalitas: keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama di mata hukum.
Dalam Piagam Madinah ini tidak ditemukan teks-teks apa pun yang menunjukkan superioritas simbol-simbol Islam. Seperti kata “Islam”, “ayat Alquran” atau “syariat Islam”. Kota Yatsrib pun berganti nama menjadi “Madinah”, yang berasal dari kata tamaddun, yang berarti “peradaban”. Maksudnya, kota atau negara yang mencita-citakan tatanan masyarakat berperadaban. Dan, untuk mewujudkannya, Nabi Muhammad mengembangkan konsep ukhuwah madaniyah. Yakni, komitmen bersama untuk hidup dalam sebuah kota atau negeri yang berperadaban.
Dalam kerangka ukhuwah seperti ini, masyarakat Madinah betul-betul merasa betah dengan pola penegakan syariat Islam yang dipraktikkan Nabi Muhammad di Madinah. Misalnya, ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh, Nabi Muhammad segera memobilisasi dana masyarakat untuk kemudian diberikan kepada pihak keluarganya. “Barang siapa yang membunuh nonmuslim, maka ia akan berhadapan dengan saya,” tegas Nabi.
Melalui pengalaman Nabi Muhammad di Madinah ini, syariat Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta tanah air, serta mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Dari pengertian inilah, Islam pun dikenal dengan penegakan syariat secara kaffah. Dalam Alquran sendiri, tidak kita jumpai kata-kata “umat Islam”. Apalagi, kata-kata “negara Islam”. Alquran lebih memerintahkan untuk membangun ummatan wasathan dan khoiru ummah.
Ada lagi aspek hadlarah (kebudayaan) dan tsaqafah (peradaban). Kita perlu mempertimbangkan aspek ilmu pengetahuan dan peradaban. Maka, di sini berlaku Islam sebagai din al-’ilm wa al-tsaqafah. Islam tidak hanya berputar-putar pada persoalan akidah dan syariah yang selama ini sering diperdebatkan dan bahkan menghasilkan tindakan radikalisme agama dan juga terorisme.
Dalam aspek tsaqafah dan hadlarah ini, Islam mengajar kita bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif dan produktif. Ketika Islam membangun peradaban di wilayah yang dulu dikenal dengan Andalusia (Spanyol), sejarah menorehkan tinta emas tentang pencapaian-pencapaian yang diraih para ulama dan cendekiawan dari berbagai kalangan penganut agama.
Kebenaran itu adalah milik bersama. Dari mana pun dia berasal, kita akan menerimanya. Ini yang ditunjukkan dalam pengalaman sejarah umat Islam yang mengadopsi, misalnya, bentuk kubah dan menara dalam bangunan masjid. Padahal, kubah berasal dari bentuk bangunan khas Romawi, sementara menara dari Persia. Menara berasal dari kata manara, yang berarti tempat perapian orang-orang Majusi.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, interaksi umat Islam dengan tradisi pengetahuan Yunani-Romawi dan Persia, melapangkan jalan bagi mereka untuk membangun peradaban agung di beberapa belahan dunia. Ilmu manthiq atau logika yang menjadi kebanggaan tradisi keilmuan Islam, adalah produk perjumpaan umat Islam dengan tradisi non-Islam. Ajakan Nabi untuk menuntut ilmu hingga ke negeri China, menjadi pemicu bagi kebangkitan tsaqafah dan hadlarah di kalangan umat Islam itu.
Islam memang datang dari negeri Arab. Kata Arab secara etimologis berarti menggelinding atau bergerak. Ini mengisyaratkan kalau kehadiran Islam akan terus bergerak dinamis, bukannya statis atau stagnan.
Jelaslah bahwa tsaqafah dan hadlarah akan terbangun dari manusia-manusia yang aktif dan produktif. Dan, di situlah hikmah manusia diciptakan. Dia akan belajar, mencari, dan memetik pelajaran dan kebenaran dari mana pun asalnya. Dua aspek ini yang kerap dilupakan, sehingga membuat umat Islam ketinggalan dalam kompetisi membangun peradaban dewasa ini. Saya istilahkan umat Islam sebenarnya “nonmuslim” dalam bidang tsaqafah dan hadlarah. Sedangkan orang-orang Barat adalah “nonmuslim” dalam bidang akidah dan syariah. (*)
Sumber : Jawa Pos Jum’at, 02 Oktober 2009
Oleh : Said Aqiel Siradj, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU)