Minggu, 04 Oktober 2009

Isy Kariman au Mut Syahidan, Slogan Pembangkit Militansi (3)

Jargon Indah untuk Agenda Busuk

JUDUL
di atas ada­lah terjemah bebas dari statemen Khalifah Ali bin Abu Thalib ke­tika mengha­dapi demonstran yang menuntut penerapan hukum Allah La hukma illa lillah (Tidak ada hukum kecuali hu­kum Allah) dan menolak putusan hu­kum Ali karena dinilai sebagai produk manusia. Demonstrasi tuntutan pene­rapan hukum Allah atau Islamic Law En­forcement (Tathbîqus syari’ah) dija­wab Ali dengan pernyataan Kalimatu haqqin yurâdu bihâ bâthilun (kata indah, tetapi dengan tujuan yang sesat).
Warning sahabat Ali yang ditulis oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya ter­sebut juga bisa ditemukan dalam kha­zanah keilmuan Islam. Salah satunya ensiklopedi hadis berjudul Kanzul Ummâl fi Sunanil Aqwâl wal Af’âl karya Alaudin al-Hindy dengan penambahan sta­temen bahwa para demonstran yang mengusung jargon indah tersebut adalah para “pengkhianat besar” (al-khayyânun).
Statemen pemuda yang pertama masuk Islam ini merupakan sikap membangun kewaspadaan agar umat Islam tidak terjebak dengan slogan-slogan yang tampaknya “indah” namun dijadikan alat untuk menebarkan tindak kekerasan. Ali memperingatkan: jangan melakukan kejahatan kemanusiaan dengan bungkus “atas nama Tuhan”. Akhirnya sejarah juga mencatat bahwa Ali terbunuh oleh para demonstran dengan mengatasnamakan “penerapan ayat Tuhan”.
Fenomena merebaknya jargon Isy Kariman au Mut Syahidan (Hidup mulia atau mati syahid) juga perlu dicermati secara kritis.
Penulis selama 28 tahun belajar studi Alquran dan Al-Hadis sejak di pesantren sampai sekarang mengampu mata kuliah tersebut, tidak pernah menjumpai redaksi seperti itu dalam kitab-kitab standar keilmuan. Secara akademis statemen ini tidak perlu dianalisis, ditafsirkan, apalagi diuji kesahih­annya, karena statemen ini bukanlah teks suci keagamaan. Bukan per­kataan sahabat Nabi dan hanya muncul dalam selebaran-selebaran pendorong mati syahid untuk Dying for Win. Doktrin tersebut ju­ga tidak jelas siapa yang pertama mengucapkannya, dan tidaklah salah kalau penulis menyimpulkan bahwa slogan tersebut sangat tidak akademis.

Memang ada statemen klasik yang mirip dengan jargon tersebut, yaitu Isy Kariman wa Mut Ka­riman (hiduplah sebagai orang yang mulia dan matilah juga sebagai orang yang mulia) yang diucapkan Asma’ binti Abu Bakar kepada anaknya, Abdullah bin Zubair. Secara epistemologis, sta­temen ini dapat didiskusikan dan dianalisis latar belakang historis dan sosiologisnya.
Pesan seorang ibu tersebut bisa dibaca dalam karya-karya sejarah klasik seperti Tarikh Dimisyqa karya Ibnu Asakir dan juga Tahzîb al-Asma’ wa al-Lughat karya Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi yang penulis pernah menziarahi makamnya di ‘Nawa”, selatan kota Damaskus, Syria.
Pesan Asma’ ini sangat berbeda dengan jargon Isy Kariman au Mut Syahidan, baik redaksional maupun setting sejarahnya. Pesan Asma’ mengarah kepada tujuan hidup mulia dan mati juga mulia tanpa adanya opsi. Sementara jargon penambah energi militansi tersebut menggiring orang untuk memilih satu di antara dua opsi, yaitu: hidup mulia atau mati syahid dengan pemakaian kata sambung “au” yang menurut gramatikal Arab untuk “takhyîr” (pilihan).
Struggle of Power Abdullah bin Zubair versus Yazid bin Muawiyah inilah yang mendorong Asma’ mengeluarkan pesan penyemangat tersebut kepada anaknya dengan penambahan : Lâ yal’abanna bika shibyânu Bani Umayyah” (Jangan sekali-kali anak-anak Bani Umayyah ini mempermainkan dirimu).
Pada sisi lain, ada hadis yang di­ri­wayatkan Ibnu Majah dan Ahmad: ilbas jadidan wa isy hamidan wa mut syahidan (pakailah baju yang baru, hiduplah yang terpuji, dan matilah sebagai syahid). Historisitasnya, Nabi bertemu Ibnu Umar dan bertanya: Bajumu baru atau di-laundry? Ibnu Umar menjawab: Bukan baju baru, tapi baju lama yang di-laundry. Akhirnya Nabi mengeluarkan sabdanya tersebut yang menurut Imam As-Sindy merupakan doa untuk Ibnu Umar agar mendapatkan rezeki yang banyak, bisa hidup bahagia, dan meninggal sebagai syahid.
Jika pernyataan Nabi ini dipahami secara kaku (rigid) dan parsial serta dilepaskan dari historisitas isi/matan hadis (tawârikhul mutun), para penebar teror akan menjadikan sabda ini sebagai justifikasi tindak kekerasan.
Ketika penulis di Mesir untuk berguru kepada Prof Hassan Ha­nafi dan Gamal al-Banna pada 2005, bertepatan dengan pemilu legislatif negeri piramid tersebut, penulis menyaksikan baliho-baliho besar terpampang di sepanjang jalan kota Kairo.
Jargon seperti Al-Islâm huwa al-hall (Islam adalah solusi), Al-jihâd sabilunâ (jihad adalah jalan kami), li thatbiqis syari’ah (untuk menegakkan syariah) menjadi menu marketing kekuasaan. Yang lebih vulgar adalah baliho yang mencantumkan lambang Al-Ikhwan al-Muslimun, yaitu gambar Alquran dengan dua bilah pedang di bawahnya. Sejarah juga mencatat bahwa karya-karya kekerasan di Mesir sering melibatkan para pengusung jargon tersebut, mulai IM (al-Ikhwan al-Muslimun), al-Jama’ah al-Islamiyyah, serta Jama’ah al-Jihad.
***
Slogan kekerasan dengan bungkus agama seperti Al-Islâm huwa al-Qur’an wa as-Saif (Islam adalah Alquran dan pedang), Al-Islâm huwa as-shalât wa al-qitâl (Islam adalah salat dan perang) bisa ditemukan dalam dokumen-dokumen yang menjadi pegangan para teror­is. Salah satunya dokumen highly secret yang bertitelkan Durûs Askariyyah fî Jihâd at-Thawâghîth (Training Militer untuk Memerangi Penguasa thaghut/ tidak memakai hukum Tuhan) setebal 180 halaman dan berisi 18 training pokok untuk para operator Al Qaidah.
Kover dokumen tersebut bergambar bola dunia dengan sebilah pedang panjang yang menu­suk peta dunia dengan ujungnya berlumur darah. Di pojok kanan juga tertulis Silsilah Askariyyah; I’lânul jihâd ala thawâghîth al-bilâd (Seri Militer: Deklarasi Perang Terhadap Ne­gara-Negara Thaghut).
Dokumen ini diawali dengan statemen ideologi kekerasan yang merupakan satu-satunya cara untuk menggapai tujuan politik Al Qaidah, yaitu berdirinya Islamic Government di muka bumi. Statemen tersebut berbunyi “Pemerintahan Islam tidak pernah dan tidak akan pernah tegak berdiri dengan cara diplomasi damai. Akan tetapi, harus dengan pena dan senjata, dengan kata dan peluru. Kami tidak butuh dialog model Plato, Aristoteles, dan Socrates.
Negara Thaghut dalam persepsi Al Qaidah dan juga semua jejaring kekerasan termasuk al-Jama’ah al-Islamiyyah adalah semua negara yang tidak memperjuangkan Islamic State dan Khilafah Global meski penduduknya beragama Islam.
Berdasarkan main idea ini, sehari setelah penemuan bahan peledak di Bekasi dan ditemukannya dokumen rencana pembunuhan terhadap Presiden SBY, penulis diwawancarai live oleh stasiun SBS (Special Broadcasting Service) Sydney, Australia, tentang rencana teroris dalam pembunuh­an Presiden SBY. Penulis menjawab, bahwa hal itu sangat dimung­kinkan karena SBY adalah seorang presiden yang selalu memba­wa negara Indonesia dalam koridor Pancasila. Di mata jejaring penebar teror, Pancasila dan juga sistem demokrasi adalah sesuatu yang najis. Penguasa pendukung Pancasila dan demokrasi adalah pengua­sa thaghut yang menurut dokumen Al Qaidah tersebut harus diperangi.
Kampanye Spreading peace for all dan “jihad untuk kemanusiaan” harus dijadikan prioritas pemerintah NKRI bersama para ulama dan kaum intelektual untuk Ta’kidul Islâm ka rahmatin wa salâmin lil âlamin fi mujtama’in ta’addudiyyin (Mempertegas Islam sebagai rahmat dan motor perdamaian bagi seluruh alam dalam bingkai masyarakat yang plural).
Sebuah baliho besar di Hotel Hilton, depan Masjidilharam, Mak­kah al-Mukarramah, yang pe­nulis saksikan pada penghujung Ramadan 2004, menjadi inspirasi besar untuk tulisan ini. Baliho ter­sebut bergambarkan Alquran dan kitab hadis yang di bawahnya tertulis pesan indah untuk kemanusiaan Lâ, lil-Irhâb (Alquran dan As-sunnah bukan untuk menebar teror). Karena realitasnya, terorisme adalah threat of religion (musuh agama) dan sekaligus threat to religion (mengancam agama).
Sumber : Jawa Pos Senin, 28 September 2009
Oleh : Agus Maftuh Abegebriel, staf pengajar Fak. Syariah UIN Sunan Kalijaga Jogja, pengamat terorisme dan ideologi transnasional.