SUATU hari di Palestina, seorang pemuda (sebut saja Omar) mengadakan acara perpisahan dengan anggota keluarga dan teman-teman dekatnya. Satu per satu keluarga dan temannya menjabat tangan dan mencium keningnya sebagai tanda perpisahan. Berpisah untuk selamanya, karena Omar tengah bersiap menuju kematian, demi meraih kehidupan yang lebih sejati dan membahagiakan.
Dengan mengenakan jaket agak longgar dan mengenakan ikat pinggang disertai bahan peledak sekitar lima kilogram, Omar dengan tenang berjalan ke pasar, pusat keramaian warga Israel. Tak lama kemudian terdengar ledakan, sedikitnya 12 orang meninggal dan 30 orang terluka. Omar ikut meninggal bersama mereka.
Bagaimana mesti memahami serentetan peristiwa bunuh diri dengan bom seperti yang dilakukan Omar di Palestina itu? Demikian juga yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini? Para psikolog Barat dengan segera menyimpulkan bahwa mental mereka sakit. Namun, sekarang mulai berkembang berbagai teori yang hendak menjelaskan mengapa ada sekelompok pemuda yang antusias melakukan bunuh diri dengan meledakkan bom.
Dari hasil penelitian terhadap 400 anggota Al Qaidah, 90 persen datang dari keluarga yang hangat dan baik-baik, usia berkisar 18-38 tahun. Dua per tiga sarjana, memiliki keluarga, dan mayoritas bekerja dalam bidang sains dan engineering. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dalam lingkungannya. Jadi, anggapan bahwa mereka memiliki mental sakit (abnormal psychology) dianggap tidak tepat.
Ada juga teori cuci otak (brainwashed). Ibarat komputer, program dan memori lama dihapus, lalu diganti dengan yang baru. Caranya, dihadirkan fakta dan argumen serta indoktrinasi adanya musuh besar yang hendak menghancurkan diri dan kelompoknya. Dalam konteks radikalisme Islam, agresi Israel yang didukung AS sudah cukup sebagai amunisi untuk mengobarkan semangat mati syahid, terutama bagi pemuda-pemuda Palestina.
Seperti ditunjukkan oleh berbagai penelitian sosial, radikalisme-terorisme itu pada mulanya bersifat sekuler, yaitu perlawanan terhadap musuh luar yang hendak merampas dan menguasai tanah air mereka. Keberanian mati dengan menerjang kekuatan musuh dibuktikan secara impresif, misalnya, oleh pasukan Kamikaze Jepang dan tentara Vietnam. Semangat dan kesiapan mati itu menguat ketika ditambah amunisi keyakinan agama bahwa mati melawan orang kafir itu termasuk mati syahid, imbalannya surga. Semangat itu berkobar di kalangan pemuda-pemuda Palestina dan dulu di Indonesia ketika melawan penjajah Belanda. Dengan teriakan Allahu Akbar dan senjata bambu runcing, para pejuang itu siap menjemput maut yang diyakini pintu gerbang menuju surga.
Berbagai peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memerlukan analisis dan studi khusus, mengingat Indonesia bukanlah Palestina, bukan Afganistan, bukan pula daerah perang melawan penjajah Belanda seperti zaman dulu. Bahkan, umat Islam Indonesia saat ini memiliki surplus kebebasan daripada semasa Orde Baru. Pintu terbuka lebar untuk mendirikan partai politik Islam. Bank Syariah bermunculan, dakwah pun tanpa izin. Bahkan, melalui parpol dan ormas Islam serta Departeman Agama, berbagai aspirasi untuk melaksanakan ajaran Islam sangat kondusif.
Oleh karena itu, tindakan radikalisme-terorisme dengan dalih membela Islam menjadi slogan dan tindakan anomali di Indonesia yang dikenal sebagai kantong umat Islam terbesar itu. Terlebih lagi yang menjadi korban juga sesama muslim.
Kalah dan Marah
Secara psikologis, para teroris itu sesungguhnya orang yang kalah dan putus asa. Mereka merasa terancam oleh musuh besar yang sulit dikalahkan dengan diplomasi dan perang sehingga jalan termurah dan heroik, menurut mereka, adalah melalui teror. Meminjam logika ekonomi, dengan teror bom bunuh diri, modal yang dikeluarkan sedikit, namun diharapkan hasilnya besar, berlipat-lipat. Tapi, logika ini sangat menyesatkan karena justru umat Islam secara umum sangat dirugikan oleh tindakan sekelompok teroris tersebut, jauh lebih besar kerugiannya ketimbang pihak lawan yang dijadikan sasaran. Kalau mereka maksudnya membela Islam, benarkah posisi Islam dan umatnya menjadi lebih baik?
Jadi, di balik antusiasme untuk ”mati syahid”, sesungguhnya secara psikologis mereka itu merupakan komunitas yang merasa kalah dalam persaingan politik, ekonomi, dan militer. Lalu, mereka marah dan membalas dendam di luar medan perang dan yang menjadi saran adalah masyarakat sipil tanpa senjata. Situasi itu sangat bertolak belakang dari apa yang dilakukan Salahuddin Al Ayyubi, panglima Perang Salib, yang justru mengajak gencatan senjata karena Richard the Lion Heart, panglima pihak Kristen, lagi sakit. Bahkan, Al Ayyubi mengutus dokter pribadinya untuk mengobati dia. Setelah Richard sehat, perang dimulai lagi.
Akar dari terorisme-radikalisme itu, antara lain, adalah krisis kepercayaan diri, krisis rasa aman, krisis ekonomi, dan krisis ilmu pengetahuan. Dengan begitu, yang muncul adalah marah, dendam, mengamuk di luar medan tempur, dan ujungnya melakukan bom bunuh diri. Dulu Rasulullah dan para sahabat ketika menaklukkan Makkah tak ada darah yang menetes. Meskipun, para sahabat sudah sangat siap dan bersemangat untuk berperang. Yang terjadi justru pengampunan masal dan memperkuat kembali tali persaudaraan.
Itu terjadi karena umat Islam sangat percaya diri secara militer, namun yang lebih penting lagi Rasulullah senang pada perdamaian dan melarang balas dendam kepada musuh-musuhnya. Sikap ramah dan toleran juga diperlihatkan oleh umat Islam pada abad tengah, ketika secara ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan tidak merasa terancam, bahkan unggul.
Sejak masih di pesantren, saya sudah terbiasa mendengar slogan Isy kariman au mut syahidan, hiduplah terhormat atau mati syahid. Slogan itu sangat cocok dan dapat dimengerti ketika umat Islam berada dalam medan tempur, misalnya, ketika Tariq bin Ziyad dan tentaranya hendak menaklukkan Andalusia dulu. Agar semangat jihad anak buahnya tetap tinggi, setelah mendarat di Andalusia, semua kapal dibakar sehingga tak ada pilihan lain kecuali menghadapi musuh. Di situlah Tariq bin Ziyad menyampaikan pidato agitatif yang sangat terkenal dan diajarkan di lingkungan pesantren.
Kira-kira isi pidato tersebut demikian: Saudara-saudaraku seiman, di belakang Anda adalah lautan. Di depan adalah musuh. Kalau hati Anda kecut dan ingin lari, lautan akan menyambutmu dan Anda akan mati konyol karena kapalmu telah tiada. Tetapi, kalau Anda serbu dan lawan musuh, kemenangan di tangan Anda. Kejayaan di dunia dengan memenangi perang atau kejayaan di akhirat kalau Anda mati.
Untuk jangka waktu sekitar lima abad, Andalusia dikuasi Islam dan menjadi pusat peradaban dunia. Kini peperangan sudah berganti medan, dari perang fisik ke perang ekonomi, sains, persenjataan, dan peradaban. Rupanya, Jepang sangat sadar perubahan ini setelah kalah dalam Perang Dunia. Mereka tidak lagi mengandalkan pasukan berani mati dalam menghadapi supremasi Barat, tetapi mereka melakukan revolusi pendidikan, teknologi, dan industri sehingga negara dan bangsa yang kecil itu disegani Barat.
Meminjam bahasa pesantren, Jepang berjihad membangun peradaban dan merebut keunggulan dalam hidup, bukan mengandalkan keberanian untuk mati. Dunia Islam mestinya belajar dari Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan kalau ingin memenangi pertempuran melawan Barat. Bukankah kejayaan Islam pada abad tengah disangga oleh kemajuan ilmu pengetahuan, bukan pertempuran, kemarahan, kebencian, dan putus asa menjalani kehidupan?
Hiduplah terhormat karena berhasil membangun prestasi peradaban. Dan, siapa yang mati membebaskan umat dari kemiskinan dan kebodohan dengan niat ibadah, insya Allah, termasuk mati syahid.
Bagaimana mesti memahami serentetan peristiwa bunuh diri dengan bom seperti yang dilakukan Omar di Palestina itu? Demikian juga yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini? Para psikolog Barat dengan segera menyimpulkan bahwa mental mereka sakit. Namun, sekarang mulai berkembang berbagai teori yang hendak menjelaskan mengapa ada sekelompok pemuda yang antusias melakukan bunuh diri dengan meledakkan bom.
Dari hasil penelitian terhadap 400 anggota Al Qaidah, 90 persen datang dari keluarga yang hangat dan baik-baik, usia berkisar 18-38 tahun. Dua per tiga sarjana, memiliki keluarga, dan mayoritas bekerja dalam bidang sains dan engineering. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dalam lingkungannya. Jadi, anggapan bahwa mereka memiliki mental sakit (abnormal psychology) dianggap tidak tepat.
Ada juga teori cuci otak (brainwashed). Ibarat komputer, program dan memori lama dihapus, lalu diganti dengan yang baru. Caranya, dihadirkan fakta dan argumen serta indoktrinasi adanya musuh besar yang hendak menghancurkan diri dan kelompoknya. Dalam konteks radikalisme Islam, agresi Israel yang didukung AS sudah cukup sebagai amunisi untuk mengobarkan semangat mati syahid, terutama bagi pemuda-pemuda Palestina.
Seperti ditunjukkan oleh berbagai penelitian sosial, radikalisme-terorisme itu pada mulanya bersifat sekuler, yaitu perlawanan terhadap musuh luar yang hendak merampas dan menguasai tanah air mereka. Keberanian mati dengan menerjang kekuatan musuh dibuktikan secara impresif, misalnya, oleh pasukan Kamikaze Jepang dan tentara Vietnam. Semangat dan kesiapan mati itu menguat ketika ditambah amunisi keyakinan agama bahwa mati melawan orang kafir itu termasuk mati syahid, imbalannya surga. Semangat itu berkobar di kalangan pemuda-pemuda Palestina dan dulu di Indonesia ketika melawan penjajah Belanda. Dengan teriakan Allahu Akbar dan senjata bambu runcing, para pejuang itu siap menjemput maut yang diyakini pintu gerbang menuju surga.
Berbagai peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memerlukan analisis dan studi khusus, mengingat Indonesia bukanlah Palestina, bukan Afganistan, bukan pula daerah perang melawan penjajah Belanda seperti zaman dulu. Bahkan, umat Islam Indonesia saat ini memiliki surplus kebebasan daripada semasa Orde Baru. Pintu terbuka lebar untuk mendirikan partai politik Islam. Bank Syariah bermunculan, dakwah pun tanpa izin. Bahkan, melalui parpol dan ormas Islam serta Departeman Agama, berbagai aspirasi untuk melaksanakan ajaran Islam sangat kondusif.
Oleh karena itu, tindakan radikalisme-terorisme dengan dalih membela Islam menjadi slogan dan tindakan anomali di Indonesia yang dikenal sebagai kantong umat Islam terbesar itu. Terlebih lagi yang menjadi korban juga sesama muslim.
Kalah dan Marah
Secara psikologis, para teroris itu sesungguhnya orang yang kalah dan putus asa. Mereka merasa terancam oleh musuh besar yang sulit dikalahkan dengan diplomasi dan perang sehingga jalan termurah dan heroik, menurut mereka, adalah melalui teror. Meminjam logika ekonomi, dengan teror bom bunuh diri, modal yang dikeluarkan sedikit, namun diharapkan hasilnya besar, berlipat-lipat. Tapi, logika ini sangat menyesatkan karena justru umat Islam secara umum sangat dirugikan oleh tindakan sekelompok teroris tersebut, jauh lebih besar kerugiannya ketimbang pihak lawan yang dijadikan sasaran. Kalau mereka maksudnya membela Islam, benarkah posisi Islam dan umatnya menjadi lebih baik?
Jadi, di balik antusiasme untuk ”mati syahid”, sesungguhnya secara psikologis mereka itu merupakan komunitas yang merasa kalah dalam persaingan politik, ekonomi, dan militer. Lalu, mereka marah dan membalas dendam di luar medan perang dan yang menjadi saran adalah masyarakat sipil tanpa senjata. Situasi itu sangat bertolak belakang dari apa yang dilakukan Salahuddin Al Ayyubi, panglima Perang Salib, yang justru mengajak gencatan senjata karena Richard the Lion Heart, panglima pihak Kristen, lagi sakit. Bahkan, Al Ayyubi mengutus dokter pribadinya untuk mengobati dia. Setelah Richard sehat, perang dimulai lagi.
Akar dari terorisme-radikalisme itu, antara lain, adalah krisis kepercayaan diri, krisis rasa aman, krisis ekonomi, dan krisis ilmu pengetahuan. Dengan begitu, yang muncul adalah marah, dendam, mengamuk di luar medan tempur, dan ujungnya melakukan bom bunuh diri. Dulu Rasulullah dan para sahabat ketika menaklukkan Makkah tak ada darah yang menetes. Meskipun, para sahabat sudah sangat siap dan bersemangat untuk berperang. Yang terjadi justru pengampunan masal dan memperkuat kembali tali persaudaraan.
Itu terjadi karena umat Islam sangat percaya diri secara militer, namun yang lebih penting lagi Rasulullah senang pada perdamaian dan melarang balas dendam kepada musuh-musuhnya. Sikap ramah dan toleran juga diperlihatkan oleh umat Islam pada abad tengah, ketika secara ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan tidak merasa terancam, bahkan unggul.
Sejak masih di pesantren, saya sudah terbiasa mendengar slogan Isy kariman au mut syahidan, hiduplah terhormat atau mati syahid. Slogan itu sangat cocok dan dapat dimengerti ketika umat Islam berada dalam medan tempur, misalnya, ketika Tariq bin Ziyad dan tentaranya hendak menaklukkan Andalusia dulu. Agar semangat jihad anak buahnya tetap tinggi, setelah mendarat di Andalusia, semua kapal dibakar sehingga tak ada pilihan lain kecuali menghadapi musuh. Di situlah Tariq bin Ziyad menyampaikan pidato agitatif yang sangat terkenal dan diajarkan di lingkungan pesantren.
Kira-kira isi pidato tersebut demikian: Saudara-saudaraku seiman, di belakang Anda adalah lautan. Di depan adalah musuh. Kalau hati Anda kecut dan ingin lari, lautan akan menyambutmu dan Anda akan mati konyol karena kapalmu telah tiada. Tetapi, kalau Anda serbu dan lawan musuh, kemenangan di tangan Anda. Kejayaan di dunia dengan memenangi perang atau kejayaan di akhirat kalau Anda mati.
Untuk jangka waktu sekitar lima abad, Andalusia dikuasi Islam dan menjadi pusat peradaban dunia. Kini peperangan sudah berganti medan, dari perang fisik ke perang ekonomi, sains, persenjataan, dan peradaban. Rupanya, Jepang sangat sadar perubahan ini setelah kalah dalam Perang Dunia. Mereka tidak lagi mengandalkan pasukan berani mati dalam menghadapi supremasi Barat, tetapi mereka melakukan revolusi pendidikan, teknologi, dan industri sehingga negara dan bangsa yang kecil itu disegani Barat.
Meminjam bahasa pesantren, Jepang berjihad membangun peradaban dan merebut keunggulan dalam hidup, bukan mengandalkan keberanian untuk mati. Dunia Islam mestinya belajar dari Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan kalau ingin memenangi pertempuran melawan Barat. Bukankah kejayaan Islam pada abad tengah disangga oleh kemajuan ilmu pengetahuan, bukan pertempuran, kemarahan, kebencian, dan putus asa menjalani kehidupan?
Hiduplah terhormat karena berhasil membangun prestasi peradaban. Dan, siapa yang mati membebaskan umat dari kemiskinan dan kebodohan dengan niat ibadah, insya Allah, termasuk mati syahid.
Sumber : Jawa Pos Rabu, 30 September 2009
Oleh : Komaruddin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta