Minggu, 04 Oktober 2009

Isy Kariman au Mut Syahidan, Slogan Pembangkit Militansi (5)

Saatnya Jihad untuk Membangun Peradaban

SUATU
hari di Pa­lestina, seorang pe­muda (sebut saja Omar) me­ngadakan acara per­pisahan de­ngan anggota keluarga dan te­man-teman dekatnya. Satu per satu ke­luarga dan temannya menjabat tangan dan mencium keningnya sebagai tanda per­pisahan. Berpisah untuk selamanya, karena Omar tengah bersiap menuju ke­matian, demi meraih kehidupan yang le­bih sejati dan membahagiakan.
Dengan mengenakan jaket agak longgar dan mengenakan ikat pinggang di­sertai ba­han peledak sekitar lima kilo­gram, Omar dengan tenang berjalan ke pa­sar, pu­sat keramaian warga Israel. Tak lama ke­­mudian terdengar ledakan, se­dikitnya 12 orang meninggal dan 30 orang terlu­ka. Omar ikut meninggal ber­sama mereka.
Bagaimana mesti memahami serentetan peristiwa bunuh diri dengan bom se­perti yang dilakukan Omar di Pales­tina itu? Demikian juga yang terjadi di In­donesia akhir-akhir ini? Para psikolog Barat dengan segera menyimpulkan bah­wa mental mereka sakit. Namun, se­karang mulai berkembang berbagai teori yang hendak menjelaskan menga­pa ada sekelompok pemuda yang antusias melakukan bunuh diri dengan me­ledakkan bom.
Dari hasil penelitian terhadap 400 ang­gota Al Qaidah, 90 persen datang dari keluarga yang hangat dan baik-baik, usia berkisar 18-38 tahun. Dua per ti­ga sarjana, memiliki keluarga, dan ma­yoritas bekerja dalam bidang sains dan engineering. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dalam lingkungannya. Jad­i, anggapan bahwa mereka me­miliki mental sakit (abnormal psy­chology) dianggap tidak tepat.

Ada juga teori cuci otak (brainwashed). Ibarat komputer, program dan memori lama dihapus, lalu diganti dengan yang baru. Caranya, dihadirkan fakta dan argumen serta indoktrinasi adanya mu­suh besar yang hendak meng­hancurkan diri dan kelompoknya. Dalam konteks radikalisme Islam, agresi Israel yang didukung AS sudah cukup sebagai amunisi untuk mengobarkan semangat mati syahid, terutama bagi pemuda-pe­muda Palestina.
Seperti ditunjukkan oleh berbagai penelitian sosial, radikalisme-terorisme itu pada mulanya bersifat sekuler, yaitu perlawanan ter­hadap musuh luar yang hendak me­rampas dan menguasai tanah air mereka. Keberanian mati de­ngan menerjang kekuatan musuh dibuktikan secara impresif, misalnya, oleh pasukan Kamikaze Jepang dan tentara Vietnam. Sema­ngat dan kesiapan mati itu me­nguat ketika ditambah amunisi keya­kinan agama bahwa mati melawan orang kafir itu termasuk mati syahid, imbalannya surga. Se­mangat itu berkobar di kalangan pemuda-pemuda Palestina dan dulu di Indonesia ketika melawan penjajah Belanda. Dengan teriakan Allahu Akbar dan senjata bambu runcing, para pejuang itu siap menjemput maut yang diyakini pintu gerbang menuju surga.
Berbagai peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memerlukan analisis dan studi khusus, mengingat Indonesia bukanlah Palestina, bukan Afganistan, bukan pula daerah perang melawan penjajah Belanda seperti zaman dulu. Bahkan, umat Islam Indonesia saat ini memiliki surplus kebebasan daripada semasa Orde Baru. Pintu terbuka lebar untuk mendirikan partai politik Islam. Bank Syariah bermunculan, dakwah pun tanpa izin. Bah­kan, melalui parpol dan ormas Islam serta Departeman Agama, berbagai aspirasi untuk melaksanakan ajaran Islam sangat kondusif.
Oleh karena itu, tindakan radikalisme-terorisme dengan dalih membela Islam menjadi slogan dan tindakan anomali di Indonesia yang dikenal sebagai kantong umat Islam terbesar itu. Terlebih lagi yang menjadi korban juga se­sama muslim.
Kalah dan Marah
Secara psikologis, para teroris itu sesungguhnya orang yang kalah dan putus asa. Mereka merasa ter­ancam oleh musuh besar yang sulit dikalahkan dengan diplomasi dan perang sehingga jalan ter­murah dan heroik, menurut me­reka, adalah melalui teror. Me­minjam logika ekonomi, dengan teror bom bunuh diri, modal yang di­keluarkan sedikit, namun diharapkan hasilnya besar, berlipat-lipat. Tapi, logika ini sangat menyesatkan karena justru umat Islam secara umum sangat dirugikan oleh tindakan sekelompok teroris tersebut, jauh lebih besar kerugiannya ketimbang pihak lawan yang dijadikan sasaran. Kalau me­reka maksudnya membela Islam, benarkah posisi Islam dan umatnya menjadi lebih baik?
Jadi, di balik antusiasme untuk ”mati syahid”, sesungguhnya secara psikologis mereka itu merupa­kan komunitas yang merasa kalah dalam persaingan politik, ekonomi, dan militer. Lalu, mereka ma­rah dan membalas dendam di luar medan perang dan yang menjadi saran adalah masyarakat sipil tan­pa senjata. Situasi itu sangat bertolak belakang dari apa yang dila­kukan Salahuddin Al Ayyubi, pang­lima Perang Salib, yang justru me­ng­ajak gencatan senjata ka­rena Ri­chard the Lion Heart, pang­l­ima pihak Kristen, lagi sakit. Bah­kan, Al Ayyubi mengutus dokter pribadinya untuk mengobati dia. Setelah Richard sehat, perang dimulai lagi.
Akar dari terorisme-radikalisme itu, antara lain, adalah krisis kepercayaan diri, krisis rasa aman, krisis ekonomi, dan krisis ilmu pe­ngetahuan. Dengan begitu, yang muncul adalah marah, dendam, me­ngamuk di luar medan tempur, dan ujungnya melakukan bom bunuh diri. Dulu Rasulullah dan para sahabat ketika menaklukkan Makkah tak ada darah yang menetes. Mes­ki­pun, para sahabat sudah sangat siap dan bersemangat untuk berpe­rang. Yang terjadi justru pengampunan masal dan memperkuat kem­bali tali persaudaraan.
Itu terjadi karena umat Islam sa­ngat percaya diri secara militer, namun yang lebih penting lagi Ra­sulullah senang pada perdamaian dan melarang balas dendam kepa­da musuh-musuhnya. Sikap ramah dan toleran juga diperlihatkan oleh umat Islam pada abad tengah, ketika secara ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan tidak merasa ter­ancam, bahkan unggul.
Sejak masih di pesantren, saya sudah terbiasa mendengar slogan Isy kariman au mut syahidan, hidup­lah terhormat atau mati syahid. Slo­gan itu sangat cocok dan dapat di­mengerti ketika umat Islam ber­ada dalam medan tempur, misalnya, ketika Tariq bin Ziyad dan ten­taranya hendak menaklukkan Andalusia dulu. Agar semangat jihad anak buahnya tetap tinggi, se­telah mendarat di Andalusia, se­mua kapal dibakar sehingga tak ada pilihan lain kecuali menghadapi musuh. Di situlah Tariq bin Ziyad menyampaikan pidato agitatif yang sangat terkenal dan diajarkan di lingkungan pesantren.
Kira-kira isi pidato tersebut de­mikian: Saudara-saudaraku seiman, di belakang Anda adalah laut­an. Di depan adalah musuh. Kalau hati Anda kecut dan ingin lari, lautan akan menyambutmu dan Anda akan mati konyol karena kapalmu telah tiada. Tetapi, ka­lau Anda serbu dan lawan musuh, kemenangan di tangan Anda. Kejayaan di dunia dengan me­menangi perang atau kejayaan di akhirat kalau Anda mati.
Untuk jangka waktu sekitar lima abad, Andalusia dikuasi Islam dan menjadi pusat peradaban dunia. Kini peperangan sudah berganti me­dan, dari perang fisik ke perang ekonomi, sains, persenjataan, dan peradaban. Rupanya, Jepang sangat sadar perubahan ini setelah kalah dalam Perang Dunia. Mereka tidak lagi mengandalkan pasukan berani mati dalam menghadapi supremasi Barat, tetapi mereka melakukan revolusi pendidikan, teknologi, dan industri sehingga negara dan bangsa yang kecil itu di­segani Barat.
Meminjam bahasa pesantren, Jepang berjihad membangun per­adaban dan merebut keunggulan da­lam hidup, bukan mengandalkan keberanian untuk mati. Dunia Islam mestinya belajar dari Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan kalau ingin memenangi pertempuran melawan Barat. Bukankah kejayaan Islam pada abad te­ngah disangga oleh kemajuan ilmu pengetahuan, bukan pertempuran, kemarahan, kebencian, dan putus asa menjalani kehidupan?
Hiduplah terhormat karena ber­­hasil membangun prestasi per­adaban. Dan, siapa yang mati membebaskan umat dari ke­mis­­kinan dan kebodohan dengan niat ibadah, insya Allah, termasuk mati syahid.
Sumber : Jawa Pos Rabu, 30 September 2009
Oleh : Komaruddin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta