Minggu, 04 Oktober 2009

Isy Kariman au Mut Syahidan, Slogan Pembangkit Militansi

1. Dekonstruksi Fatalisme Keagamaan

DOKTRIN
dan slogan ”isy kariman au mut syahidan” yang se­cara populer diterjemahkan menjadi pilihan ”hidup mulia atau mati syahid” sebenarnya bukan fenomena baru. Pada 1970-an, sewaktu menjadi aktivis pemuda masjid, saya sering mendengar doktrin dan slo­gan itu dari para mentor pelatihan dakwah melalui forum usroh. Kenyataan menunjukkan, mereka yang terpenga­ruh oleh doktrin itu memang menjadi sangat militan dan memandang masalah secara hitam putih, serta berorientasi pada sikap dan perilaku keagamaan yang fatalistik.
Jika sekarang slogan itu muncul kembali, tentu itu tidak terlepas dari konteks so­sial politik dan perkembangan kehi­dupan keagamaan sejak satu dekade ter­akhir. Runtuhnya kekuasaan Orde Baru telah menyuburkan kemunculan ge­rakan-gerakan trans nasional Islam, ter­utama dari Timur Tengah, yang militan dan punya orientasi keagamaan yang berbeda dengan kalangan mainstream Islam Indonesia, terutama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Itu bi­sa dilihat, misalnya, dari slogan tersebut yang sering digunakan beberapa or­mas Islam militan tertentu ketika ber­de­monstrasi dan menyampaikan aspirasi.

Namun, perlu dicatat, penggunaan slogan ”hidup mulia atau mati syahid” juga bukan monopoli dari kelompok-kelompok militan saja. Di Jakarta atau kota-kota besar yang lain, slogan itu juga ditempel di sejumlah masjid atau musala tertentu.
Bahkan, saya juga pernah melihat slogan itu dipasang di kaca belakang mobil mewah yang dikendarai anak-anak muda. Mungkin supaya lebih keren menggunakan bahasa Inggris: Be a Good Moslem or Die as a Syuhada (Jadilah Muslim yang Baik atau Mati sebagai Seorang Syuhada). Dan, anak-anak muda yang menempelkan slogan itu di mobilnya juga tidak berjubah dan berjenggot, tapi pakai celana jins dan berambut gondrong.
***
Apakah slogan seperti itu berpengaruh terha­dap perilaku keagamaan seseorang atau kelompok keagamaan? Itu sangat bergantung kepada pe­mahaman dan aktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari. Individu atau kelompok tertentu yang memahami doktrin tersebut sebagai ”ayat suci” secara parokial dan tidak konteks­tual akan mudah mengimplementasikan dalam pandangan dan sikap keagamaan yang eksklusif, keras, dan militan. Tidak jarang pandangan dan sikap keagamaannya menjadi fatalistik de­ngan jalan menjauhi hidup duniawi dan sa­ngat menggebu untuk melakukan jihad, sekalipun harus mengorbankan nyawa sendiri. Me­reka percaya bahwa mati syahid jauh lebih mulia bila dibandingkan dengan hidup di dunia, tapi tidak ada artinya. Kelompok ini -me­minjam terminologi mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Syafi’i Maarif- menjadikan doktrin itu sebagai ”teologi maut”. Mereka ingin cepat mati, tetapi tidak berani hidup.
Namun, mereka yang memahami doktrin tersebut secara kritis dan kontekstual akan paham bahwa slogan tersebut bukanlah potong­an ayat suci Alquran, tetapi sebuah ”ungkapan bijak” yang perlu dilihat konteksnya. Mereka paham betul bahwa slogan itu berasal dari nasihat bijaksana dari Asma binti Abu Bakar kepada anaknya, Abdullah bin Zubeir.
Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa Asma menasihati anaknya yang saat itu menemui kesulitan dalam peperangan dan menghadapi ancaman musuh. Saat itulah muncul nasihat isy kariman au mut syahidan itu dan kemudian menjadi sangat ampuh untuk melecut semangat kepahlawanan Ibnu Zubair dalam peperangan, sampai titik darah penghabisan. Ibnu Zubair memang diriwayatkan sebagai seorang pejuang hebat yang selalu siap berjuang untuk Islam, berani mengambil risiko dalam pertempuran, sangat tekun beribadah, dan dipandang sebagai syuhada. Tapi, hidupnya juga berakhir secara dramatis karena tubuhnya disalib dan kepalanya dipenggal oleh Hajjaj bin Yusuf dan dikirimkan sebagai hadiah kepada Abdul Malik yang menjadi penguasa kekhalifahan Bani Ummayah.
Dalam sejarah gerakan modern Islam, slogan isy kariman au mut syahidan juga dinyatakan oleh Sayyid Qutb, ideolog dan pemikir gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, di saat-saat terakhir hidupnya ketika menghadapi tiang gantungan rezim Gamal Abdul Nasser. Ungkapan Qutb itu sering dijadikan referensi oleh kelompok-kelompok militan dalam memperjuangkan aspirasinya. Tapi, mereka yang memahami perkembangan gerakan Islam paham betul bahwa slogan tersebut punya konteks historis dan politis pada masanya.
***
Di Indonesia, kalangan NU maupun Muhammadiyah tidak menggunakan slogan itu karena dua ormas Islam tersebut mengembangkan pendekatan kultural dalam metode dan strategi dakwahnya. Secara umum, NU maupun Muhammadiyah sangat menekankan pendekatan dakwah yang inklusif dan moderat. Teologi NU bersumber pada doktrin ahlu sunnah wal jamaah yang sangat menekankan kepada doktrin tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran) dalam pandangan dan sikap keagamaan. Sementara itu, basis sosial NU adalah pesantren yang sejak awal mendakwahkan Islam yang ramah dan akomodatif terhadap tradisi lokal dan watak budaya Nusantara.
Berbeda dengan ideologi gerakan keagamaan transnasional Islam yang cenderung eksklusif dan parokial, pesantren sebagai basis sosial NU mengajarkan doktrin keagamaan yang inklusif dan orientasi kehidupan dunia dan akhirat yang seimbang. Kekuatan pesantren terletak pada pemahaman keagamaan yang bersumber dari khasanah tauhid, fikh, dan tasawuf yang integratif serta pengembangan nilai-nilai kepribadian dan kemandirian hidup.
Dalam konteks fiqh, misalnya, dikenal tradisi aqwal, yakni untuk menganalisis suatu masalah dapat digunakan banyak pendapat. Teologi dan tradisi NU itu jelas berbeda dengan pandangan keagamaan yang eksklusif dan fatalistik.
Sementara itu, Muhammadiyah dikenal dengan usahanya untuk mengembangkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar melalui ”teologi Al Ma’un” yang ditransformasikan melalui pemberdayaan umat, terutama kaum mustad’afin (kelompok dhuafa). Dalam konteks itu, Muhammadiyah memberikan ”tafsir sosial” Surat Al Maun yang transformatif dan membebaskan. Lewat tafsir sosial yang transformatif itu, Muhammadiyah mengingatkan umatnya untuk tidak terjebak dalam kelompok ”yang mendustakan agama”. Yaitu, kelompok menelantarkan kaum dhuafa; yakni mereka yang rajin salat, tapi tidak peduli terhadap lingkungan sosialnya. Juga mereka yang tekun beribadah dan beramal saleh, tapi semangatnya riya dan mementingkan diri sendiri (selfish). Tafsir sosial dan teologi transformatif itulah yang menjauhkan warga Muhammadiyah dari fatalisme keagamaan dan mengimplementasikan makna jihad secara positif dan konstruktif dalam kerja-kerja kultural dan intelektual.
***
Karena itu, doktrin isy kariman au mut syahidan yang sering ditafsirkan secara sempit dan parokial oleh kelompok-kelompok militan perlu segera didekonstruksi. Untuk itu, pengertian jihad yang diderivasi lewat ”teologi maut” yang fatalistik dan menghalalkan kekerasan, bunuh diri, atau mencederai orang lain untuk mengejar mati syahid harus ditafsirkan kembali secara kritis, substantif, dan kontekstual. Dalam konteks itu, jihad haruslah diletakkan dalam bingkai pemahamahan hermeunetika yang inklusif, mendalam, dan konstruktif untuk kemaslahatan umat (bonum commune) dan kesinambungan peradaban.
Prof Khalid Abu Fadl, guru besar hukum Islam dari UCLA, Amerika, dalam karyanya, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, mewanti-wanti kaum muslimin agar waspada terhadap kelompok-kelompok militan yang menafsirkan makna jihad secara serampangan dan tidak sesuai dengan semangat Alquran serta misi otentik Islam sebagai agama kemanusiaan.
Menurut Abu Fadl, jihad dalam Islam ber­orientasi kepada orientasi spiritual yang kuat dan etika kerja material yang berorientasi kepada semangat kemanusiaan. Jadi bukan pada tafsir­an yang eksklusif dan fatalistik. Sudah saatnya para ulama, intelektual, dan juru dakwah NU dan Muhammadiyah bersatu dan bekerja bahu-membahu membebaskan umat dari fatalisme keagamaan yang sempit dan parokial. Wallahu a’lam bis sawab. (*)
Sumber : Jawa Pos Sabtu, 26 September 2009
Oleh : Dr M. Syafi’i Anwar, direktur eksekutif Inter-national Center for Islam and Pluralism