Berani Mengelola Hidup Bermakna
AKHIR-AKHIR ini, sebagai seorang muslim yang pernah berguru di pesantren, saya merasa amat terganggu oleh pemberitaan soal terorisme. Sebab, para pelakunya diidentifikasi sebagai kelompok yang memiliki bekal pendidikan Islam.
Tidak heran, muncul tudingan, institusi pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah dianggap punya andil besar dalam penyebaran paham keislaman eksklusif. Paham yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pada gilirannya menumbuhkan bibit-bibit terorisme.
Ditengarai, salah satu penyebab lahirnya semangat terorisme di lingkungan madrasah dan pesantren adalah moto: isy kariman au mut syahidan (hiduplah secara terhormat atau matilah secara syahid).
Aneh juga. Seingat saya, moto itu tidak populer di pesantren. Sepintas, tidak ada yang salah dengan moto tersebut. Menganjurkan manusia hidup terhormat dan mati syahid adalah kebaikan, bahkan diajarkan dalam semua agama. Masalahnya, apa yang dimaksud dengan hidup terhormat dan mati secara syahid?
Moto atau slogan adalah sebuah teks bisu, bergantung siapa yang membaca dan motivasi apa di baliknya. Faktanya, teks itu telah direbut oleh suatu kelompok dan ditafsirkan dengan tafsiran eksklusif yang menegasikan nilai-nilai kemanusiaan, mengingkari prinsip-prinsip perdamaian dan toleransi.
Bagi kelompok itu, isy kariman (hiduplah secara terhormat) dimaknai sebagai hidup penuh kebencian kepada orang berbeda. Mengklaim diri sendiri sebagai yang benar, yang beriman, yang selamat, yang saleh, dan yang harus menentukan jalan hidup orang lain. Melihat diri sendiri sebagai penting dan orang lain tidak penting, sehingga harus dibinasakan.
Lalu, mut syahidan (matilah secara syahid) ditafsirkan sebagai keharusan membunuh orang lain yang berbeda. Memusuhi orang lain yang tidak seiman. Menyakiti orang lain yang tidak sependapat. Menghabisi kelompok yang tidak seideologi. Mereka yang dihegemoni secara sistemik dengan model tafsir atau pemahaman eksklusif tersebut lambat laun menjelma menjadi teroris. Mereka pasti menghancurkan masa depan peradaban manusia dan kemanusiaan. Sungguh mengerikan!
Namun, akan sangat berbeda jika moto isy kariman (hiduplah secara terhormat) ditafsirkan sebagai hidup penuh pengabdian tulus kepada Sang Pencipta kehidupan dengan jalan merawat kehidupan yang dianugerahkan-Nya; merajut damai dengan sesama manusia (siapa pun tanpa melihat bentuk luarnya); menjaga keharmonisan dengan makhluk lain; menjaga kelestarian alam semesta; serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kenyamanan hidup umat manusia.
Selanjutnya, mut syahidan (matilah secara syahid) ditafsirkan sebagai mati demi memperjuangkan kebebasan asasi manusia, mati demi membela hak-hak asasi kelompok tertindas dan kaum minoritas; mengeliminasi segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, serta kekerasan yang merusak kehormatan dan martabat manusia; serta memperjuangkan prinsip-prinsip universal kemanusiaan seperti keadilan, kedamaian, kesederajatan, dan kebebasan yang bertanggung jawab demi keselamatan serta kebahagiaan umat manusia.
Saya yakin, jika penafsiran seperti itu disosialisasikan secara luas dan sistemik dalam institusi pendidikan Islam, akan muncul umat Islam yang maju, tangguh, dan kuat; penuh cinta kasih; serta memiliki peradaban yang dibanggakan.
Secara teologis, tafsiran eksklusif yang mengantarkan pada bencana terorisme tidak memiliki landasan kuat dalam Islam. Mengapa? Islam adalah agama yang mendudukkan manusia pada posisi yang sangat spesifik di mata Tuhan.
Manusia adalah khalifah fi al-ardh (Al-Baqarah, 2:30). Tugas manusia adalah menerjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta. Suatu kedudukan yang teramat tinggi, bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya, termasuk malaikat sekalipun.
Manusia justru ditantang untuk lebih berani mengelola hidup daripada berani mati. Ada ratusan ayat dan hadis yang mengimbau agar manusia merawat kehidupan; agar selalu optimistis, inovatif, dan kreatif; agar tekun bekerja keras dan tidak putus asa; serta senantiasa berdoa dan berupaya sedemikian rupa agar bisa memberi manfaat sebesar-besarnya kepada manusia dan kemanusiaan.
Sejumlah moto di lingkungan pesantren mendorong umat Islam agar menjadi manusia produktif, inovatif, kritis, rasional, patriotis, pengasih, dermawan, dan peduli lingkungan. Misalnya, muslim yang kuat lebih baik daripada muslim yang lemah. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Manusia yang bekerja dengan tangannya sangat dihargai. Manusia harus lebih mendayagunakan nalar kritis dan rasionya. Kebersihan adalah bagian dari iman. Cinta tanah air adalah bagian integral dari iman. Artinya, ajaran Islam justru menuntun manusia menjadi lebih berani mengarungi kehidupan di bumi, mampu menghadapi semua risiko dan kenyataan hidup, betapapun pahit dan sulitnya.
Kemajuan pesat di bidang teknologi dan komunikasi serta pengaruh buruk globalisasi membuat sebagian orang terkucilkan, tak berdaya bersaing dalam penguasaan teknologi dan perebutan sumber daya alam yang semakin ganas dan ketat. Banyak orang yang merasa teralienasi, kesepian, putus asa, bahkan depresi.
Tidak sedikit di antara mereka lalu melarikan diri ke paham yang menawarkan kesenangan dan keselamatan semu. Bahwa hidup di dunia ini tidaklah penting, hidup di akhirat nanti justru merupakan tujuan hakiki. Agar cepat meraih tujuan hakiki tersebut, akhiri segera hidup di dunia. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk meng-counter paham yang menyesatkan itu? Tiada lain kecuali mengajarkan secara dini kepada anak-anak kita agama humanistis. Dalam Islam, sifat humanistis didasarkan atas kepercayaan akan adanya Allah Mahakasih dan Mahasayang.
Sifat Mahakasih dan Mahasayang (al-Rahman dan al-Rahim) adalah sifat Kebenaran Mutlak yang paling banyak disebutkan dalam Alquran. Dalam banyak hadis, Nabi SAW menyatakan, hendaknya kita mencontoh akhlak Tuhan Mahakasih dan Mahasayang. Cinta kepada Yang Mahacinta pada gilirannya melahirkan cinta sesama manusia.
Logikanya, jika seseorang mempunyai hubungan cinta kepada Tuhan (hablun minallah), seharusnya dia juga mempunyai hubungan cinta kepada sesama manusia (hablun minannas), dua nilai hidup yang bakal menjamin keselamatan manusia, dunia-akhirat.
Terakhir, tapi sangat mendasar, kita harus memiliki pandangan yang positif dan konstruktif kepada sesama manusia. Pandangan positif seperti ini hanya ada dalam agama humanistis. Sebaliknya, agama otoritarian selalu melihat manusia penuh dosa dan memandang Tuhan sebagai Maha Penyiksa. Islam mengajarkan, manusia pada dasarnya adalah baik (Al-Tiin, 95:4).
Manusia diciptakan dalam fithrah atau kejadian asal yang suci-bersih. Kejahatan pada manusia, yaitu keadaan menyimpang dari fitrah, harus dipandang sebagai sesuatu yang datang dari luar, khususnya dari pengaruh lingkungan budaya, termasuk pendidikan.
Nabi melukiskan, setiap anak lahir dalam kesucian fitrah. Pengaruh didikan kedua orang tua membuatnya menyimpang dari fitrah yang membuatnya berpandangan komunal dan sektarian yang membelenggu dan membatasi.
Jadi, kejahatan bukanlah bagian dari wujud esensial manusia, melainkan sesuatu yang bersifat luar atau eksternal, meski bergabung dengan kelemahan manusia sendiri. Sebab, meski baik, manusia tetap harus diakui sebagai makhluk lemah. Karena itu, hanya Tuhan yang Mahabenar, hanya Dia yang dapat memberikan penilaian. Manusia hanya ber-fastabiqul khairat, berlomba berbuat terbaik. Itu saja. Wallahu a'lam bi as-shawab.
*) Dr Siti Musdah Mulia, dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah