Minggu, 04 Oktober 2009

Isy Kariman au Mut Syahidan, Slogan Pembangkit Militansi (6)

Transformasi Doktrin untuk Keunggulan Hidup

BEBERAPA tahun lalu, bersama teman-teman, penulis berkunjung ke Le­ningrad yang kini bernama St. Petersburg, kota kelahiran Vladimir Putin, perdana menteri Rusia. Kunjungan itu dalam rangka dialog internasional hubungan antaragama yang berlangsung pada akhir Juni.
Pada Juni itu ada suatu masa yang di­kenal dengan white night, saat batas pergantian siang dan malam tidak jelas. Seluruh hari tampak te­maram. Langit pun se­perti pada pukul lima sore di Indonesia, seolah matahari begitu malas beranjak. Jarak magrib ke subuh ber­langsung sekitar tiga jam.
Saat itu seorang anggota rombongan ber­tanya kepada pemandu (orang Turki) tentang cara berpuasa orang yang ting­gal di kota itu. Si pemandu agak malas menjawab. Sebab, dengan cara pua­sa konvensional seseorang yang tinggal di St. Petersburg harus berpua­sa sekitar 21 jam jika Ramadan jatuh saat white night.
Seorang teman mengusulkan ke sponsor yang mengundang kami agar suatu saat mengundang ulama bahtsul masail dan ulama tarjih berwisata ke kota itu saat Ramadan jatuh pada Juni atau Juli. Sangat mungkin mereka (jika ha­nya berdasar pemahaman harfiah risalah Muhammad dengan hadisnya) kesulit­an menemukan hadis Nabi tentang ibadah puasa masa white night.
Hanya ada ruang bagi ulama mere­konstruksi ajaran Islam bersumber kitab suci dan sunah dengan penafsir­an kritis, mungkin dengan metode hermeneutika.

Sayang, metode ini sering dicap ha­sil ekspor Zionis Yahudi dengan tujuan melumpuhkan semangat jihad kaum muslimin dari doktrin isy kariman au mut syahidan. Karena itu, ha­nya ada pilihan bagi muslim yang tinggal di dekat kutub saat puasa. Yakni, berpuasa lebih dari 20 jam atau tidak ber­puasa dengan argumen hambatan atau masyaqat seperti sakit dan sebagainya.
Penafsiran ulang ajaran Islam dari sumber asli itu memunculkan pertanya­an: Mengapa Islam yang santun, penuh damai selalu muncul praktik kekerasan, seperti doktrin hidup mulia atau mati syahid?
Dalam fikih yang lahir sekitar 100 tahun sesudah Nabi wafat dikenal hukum rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, dan banyak lagi. Dalam hubungan sosial multireligi yang beragama selain Islam, seolah hanya aman sepanjang tunduk pada hukum Islam atau melakukan konversi bersyahadat. Komunitas selain Islam hanya memiliki pilihan: tetap meyakini agama yang dipeluknya, tapi menyatakan tunduk pada kekuasaan Islam, bersyahadat memeluk Islam, atau ber­hadapan dengan kekuatan Islam dengan satu pilihan; kalah dalam perang konvensional atau nonkonvensional.
Seluruhnya bersumber pada pemahaman atas kelengkapan dan kesempurnaan ajaran Islam dan keharusan setiap muslim memenuhi secara kaaffah tanpa keharusan memahami ulang dalam suasana baru yang dulu belum terjadi. Setia pada ajaran berarti taken for granted, menerima seluruh ajaran Islam yang disusun ulama pada masa lebih 1.000 tahun lalu tanpa bertanya dan sikap kritis.
Manusia muslim paling sempurna adalah generasi salaf sahabat Nabi yang hidup abad ketujuh hingga kedelapan Masehi; era tabiin; mereka yang tidak ber­sua Nabi, tapi bersama sahabat Na­bi. Seterusnya tabiit-tabiin hingga masa kini. Karena itu, garis genealogi begitu penting dan sakral manakala bisa disandarkan pada generasi salaf, yaitu sa­habat, apalagi jika secara biologis ber­sandar pada keturunan Muhammad SAW, sang Nabi itu sendiri.
Pada era kebangkitan Islam, pembedahan pintu ijtihad telah dicoba dilakukan di bawah slogan “Pintu ijtihad tidak pernah tertutup”. Namun, fakta di la­pang­an menunjuk begitu sulit seseorang bisa diterima sebagai mujtahid atau yang berhak melakukan ijtihad. Seluruh konstruksi ajaran Islam diyakini selesai dilakukan generasi terbaik dan tersoleh ulama salaf. Dari sini pula kemudian muncul gerakan dan aliran salafi.
Dalam kaitan di atas, berbagai pelatihan kader gerakan Islam hampir semua organisasi Islam memakai doktrin isy ka­riman au mut syahidan, pemicu semangat latihan, juga semangat gerakan dalam dinamika kehidupan sebagai kader atau aktivis. Banyak hadis yang mengisahkan tentang syahid dengan ba­lasan surga dan sejumlah bidadari, melalui jalan perang atau sakit, memper­ta­hankan harta atau kehormatan diri dan ke­luarga. Namun, yang paling populer ia­lah syahid melalui jalan perang. Belakangan aksi ini meluas, meliputi bom bunuh diri dalam situasi bukan perang. Sebab, perang sendiri diberi arti lebih luas, tidak terbatas pengertian konvensional.
Terdapat hadis lain yang mengisahkan bagaimana seseorang menjalani hidup terhormat dalam kehidupan duniawi ini, seperti “Jalani hidupmu di dunia ini se­olah engkau hidup selamanya, tapi jalani nasib akhiratmu seolah engkau mati besok pagi”. Namun, struktur pemahaman hidup duniawi terbelah dalam dua wila­yah berbeda secara ekstrem. Yakni, wilayah setan di satu pihak dan wilayah malaikat di pihak lain atau wilayah kesalehan di satu pihak berhadapan dengan wilayah kemaksiatan di pihak lain. Ka­rena itu, makna hadis di atas lebih dekat doktrin “Hiduplah mulia atau mati syahid dalam perang konvensional atau nonkonvensional”.
Doktrin itu lebih dipahami dalam arti hidup mulia meraih kemenangan me­ngalahkan atau menguasai wilayah setan atau maksiat yang direpresentasikan orang atau bangsa yang meyakini ajaran selain Islam. Wilayah lain itu diberi arti sebagai kehidupan orang atau bangsa yang tidak seiman. Yakni, yang memeluk agama selain Islam atau seagama tapi tidak mendukung doktrin penghancuran wilayah setan dan maksiat baik secara kultural atau secara jasmaniah.
Muncul ajaran yang bersumber hadis “Barang siapa melihat kemungkaran haruslah mengubah kemungkaran itu dengan kekuasaan (tangan/ kekerasan). Jika tidak mampu secara paksa harus mengubah dengan lisan. Jika tidak juga mampu, haruslah mengubahnya dengan hati atau dengan tidak mengikuti kemaksiatan, tapi ini tergolong lemah iman”.
Keyakinan ajaran Islam sempurna, Mu­hammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir, tidak ada lagi wahyu, se­ring dipahami bahwa Islam sempurna (syumul dan kamilah) dan kaaffah de­ngan menerapkan persis kata perkata dari makna harfiah pengalaman hidup Muhammad SAW dengan para sahabatnya 1.400 tahun lalu di semua era sejarah.
Kehidupan duniawi seolah dihentikan ditarik ke masa lalu secara romantis tanpa tersedia ruang akomodasi persoalan baru yang dulu memang belum terjadi. Sejarah dihentikan ditarik ke masa lalu dalam suasana padang pasir dalam budaya nomaden dengan pola hidup keras.
Mungkin penting memberi arti doktrin “Hidup mulia atau mati syahid” secara kultural dengan kompetisi peradaban unggul atau fastabiqul khairat dalam kaitan ayat dalam surat Ali Imron: “Kuntum khaira ummat uhrijat linnas takmuruna bil makruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tukminuuna billah” yang oleh Kuntowijoyo diberi arti objektivikasi, humanisasi, dan liberalisasi.
“Engkaulah umat terbaik karena kemampuan membela kemanusiaan, membebaskan ketertindasan tanpa pandang bangsa dan agama. Engkaulah unggulan peradaban karena menguasai iptek, adil, dan bijak. Doktrin “hidup mulia dan mati syahid” penting ditransformasikan ke dalam doktrin “kuasai ilmu dan peradaban dari pusat-pusat keunggulan dunia sampai engkau masuk ke liang kubur”.
Tugas kader dan aktivis ialah membuktikan doktrin “Islam yaklu wala yukla ‘alaih terbukti dalam sejarah seperti sebelum pencerahan Barat dan Eropa. Semogalah!
Sumber : Jawa Pos Kamis, 01 Oktober 2009
Oleh : Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga Jogja, anggota Komnas HAM