MENJELANG pergantian abad hingga saat ini, radikalisme agama mengalami penguatan dan penyebaran cukup signifikan. Salah satu implikasinya adalah merebaknya terorisme dan sejenisnya di berbagai belahan dunia, termasuk di bumi pertiwi tercinta.
Fenomena memperlihatkan, semakin mereka diburu, semakin besar nyali mereka untuk melakukan teror atau aksi kekerasan yang lain. Kian mereka diperangi dan elite atau tokoh kunci mereka dihabisi, generasi penerus mereka kian tumbuh menjamur.
Bagi pengikut radikalisme itu, kematian -apalagi untuk menyebarkan kekerasan dan pembunuhan terhadap the others-bukan hanya tidak ditakuti, tapi justru dicari dan menjadi impian mereka. Dengan bunuh diri untuk membunuhi orang di luar kelompok mereka, mereka meyakini (atau lebih tepatnya, diiming-imingi oleh elite mereka) sebagai mati syahid; menjadi martir.
Keberagamaan mereka tersebut tampaknya -sampai batas tertentu -didasarkan pada teologi kematian. Melalui teologi itu, mereka menjadikan kematian bukan sebagai akhir kehidupan yang harus dijalani serius dan kreatif oleh setiap umat Islam dan umat manusia, tapi sebagai eliminasi terhadap kehidupan. Mereka menjadikan kehidupan sebagai kematian; sebagai kondisi yang sarat dengan closed sacred text dan past ideal history yang baku dan nyaris tidak bisa didialogkan dengan sejarah. Dalam perspektif mereka, kehidupan adalah bentuk jadi yang tidak bisa diubah. Perubahan dianggap tidak otentik, yang harus dilawan dan dibasmi.
Teologi kematian senyatanya merupakan perluasan dari teologi kekuasaan yang dianut kelompok radikal. Teologi itu -menurut Khaled Abou elFadl (Islam and Theologi of Power, 2001) berakar dari perasaan kalah, frustrasi, dan alienasi mereka yang hebat. Bukan hanya terhadap institusi kekuasaan modern, tapi juga terhadap warisan dan tradisi Islam. Sebagai kompensasinya, mereka membangun supremasi puritan yang menjadikan mereka dapat membangun sikap arogansi kebenaran distingtif vis-a-vis kelompok di luar mereka.
Dalam membangun supremasi kekuasaan tersebut, mereka meleburkannya dengan teologi kematian. Teologi itu bernilai sangat signifikan. Sebab, melalui itu, mereka bisa menumbuhkembangkan kepada kelompok dan pengikutnya, terutama kaum muda, keberanian tanpa tara. Kematian adalah surga dengan bidadari dan segala fasilitasnya yang sangat menjanjikan.
Reduksi Agama
Isy kariman aw mut syahidan, hidup mulia atau mati syahid, sebagai salah satu slogan mereka seutuhnya merepresentasikan amalgamasi (pencampuran) teologi kekuasaan dan kematian yang mereka anut. Melalui pemahaman literalistik, mereka menyikapi segala sesuatu secara dikotomis dalam oposisi biner. Misalnya, Barat mesti bertentangan dengan Islam. Demikian pula, Islam mereka pasti benar, yang harus menegasikan pemahaman keislaman di luar kelompok mereka.
Pola pandang itu pada gilirannya mengantarkan mereka kepada keyakinan inkompatibilitas peradaban kontemporer yang berasal dari Barat dan Islam. Kehadiran Barat membuat mereka merasa ditundukkan dan dilemahkan yang tidak memungkinkan mereka hidup dalam kemuliaan. Untuk melawannya, mereka lalu berupaya membangun kekuatan dan kekuasaan; suatu kekuasaan yang dalam anggapan mereka tidak bisa dipatahkan oleh kelompok mana pun dan kekuatan apa pun.
Dalam tataran itu, mereka bergantung kepada teologi kekuasaan dan kematian. Dengan teologi tersebut, kematian pun menjadi modal untuk meneguhkan kekuasaan mereka. Satu tetes darah dari kelompok sendiri diupayakan menghasilkan banjir darah dari kelompok di luar mereka, entah dari sesama muslim, apalagi yang bukan muslim.
Di tangan mereka, agama mengalami reduksi begitu parah. Agama Islam yang sebermula sekali hadir untuk menjadikan manusia, khususnya umat Islam, sebagai khalifah Tuhan yang bertugas memakmurkan dunia dan melestarikan kehidupan diperas menjadi media untuk memorakporandakan dunia dan kehidupan. Nilai-nilai dan ajaran Islam universal tentang pengendalian diri, pengembangan dialog, kesabaran, husnuzzan, dan sejenisnya terpangkas oleh dendam kesumat, arogansi, dan prejudice.
Islam Agama Moral
Melihat eskalasi penyebaran dan penguatan radikalisme yang berlindung dalam baju Islam dengan dampaknya yang cukup mengerikan terhadap kemanusiaan dan kehidupan, pembumian visi Islam menjadi tidak terelakkan. Kehadiran Islam sebagai rahmat bagi umat manusia, alam, dan kehidupan tidak bisa ditawar-tawar. Untuk meyakini kehadiran Islam sebagai berkah dengan segala turunannya, kita perlu -sebagaimana dinyatakan al-Syatibi dalam al-Muwaffaqat- membaca teks-teks suci secara holistik. Alquran tidak bisa dibaca dan dipahami secara sepotong-potong. Pemahaman secara menyeluruh dan utuh akan mengantarkan pembacanya -siapa pun dia, apalagi muslim- kepada konklusi bahwa maqashidus syariah; tujuan Islam semata-mata untuk kemaslahatan umat Islam, manusia, dan kehidupan.
Karena kehadiran Islam untuk kemaslahatan, dipastikan Islam adalah agama moral. Nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam Alquran dan as-Sunnah akan terkuak secara utuh dan transformatif -menurut El Fadl- hanya jika sumber Islam tersebut dipahami melalui pendekatan moral. Dari sini akan terpampang dengan jelas betapa besar komitmen Islam mengenai pengembangan moralitas luhur; dari pengendalian diri, pengembangan kesabaran, hingga pembumian keadilan.
Pada gilirannya, kehadiran Islam sebagai rahmat bagi alam dan kehidupan perlu di-breakdown menjadi isu-isu strategis dan kemudian dikembangkan ke dalam program-program transformatif. Sejalan dengan itu, skala prioritas juga mutlak menjadi bagian dari agenda tersebut.
Skala prioritas yang sangat mendesak untuk segera dirumuskan secara konkret, antara lain, pendidikan keislaman (dalam arti luas) bagi generasi muda muslim. Isu ini sangat urgen dikedepankan terkait dengan rentannya kelompok muda untuk terjebak ke dalam ideologi radikalisme. Mereka relatif mudah masuk dalam perangkap karena mereka berada dalam masa pencarian identitas. Mereka umumnya tertarik pada hal-hal yang bernuansa eksklusif, menantang, dan penuh impian. Radikalisme nyaris memberikan segala yang diimpikan mereka.
Berbicara mengenai pendidikan tersebut, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dituntut berada di garis depan. Moderatisme dan apresiasi terhadap kesejarahan umat yang dianut dua kelompok itu merupakan modal besar untuk pengembangan pendidikan keislaman yang lebih mencerahkan dalam berbagai aspeknya, dari moralitas hingga peradaban Islam.
Kedua organisasi Islam terbesar itu perlu duduk bersama merancang pendidikan yang dapat mengantarkan generasi penerus menjadi kalifah-kalifah Allah yang lebih mumpuni dan lebih bertanggung jawab kepada kelangsungan hidup umat Islam, umat manusia, dan dunia. Yang tidak kalah penting, kelangsungan Indonesia sebagai NKRI.
Sumber : Jawa Pos Minggu, 27 September 2009
Abd. A’la, guru besar dan pembantu rektor I bidang akademik IAIN Sunan Ampel Surabaya
Bagi pengikut radikalisme itu, kematian -apalagi untuk menyebarkan kekerasan dan pembunuhan terhadap the others-bukan hanya tidak ditakuti, tapi justru dicari dan menjadi impian mereka. Dengan bunuh diri untuk membunuhi orang di luar kelompok mereka, mereka meyakini (atau lebih tepatnya, diiming-imingi oleh elite mereka) sebagai mati syahid; menjadi martir.
Keberagamaan mereka tersebut tampaknya -sampai batas tertentu -didasarkan pada teologi kematian. Melalui teologi itu, mereka menjadikan kematian bukan sebagai akhir kehidupan yang harus dijalani serius dan kreatif oleh setiap umat Islam dan umat manusia, tapi sebagai eliminasi terhadap kehidupan. Mereka menjadikan kehidupan sebagai kematian; sebagai kondisi yang sarat dengan closed sacred text dan past ideal history yang baku dan nyaris tidak bisa didialogkan dengan sejarah. Dalam perspektif mereka, kehidupan adalah bentuk jadi yang tidak bisa diubah. Perubahan dianggap tidak otentik, yang harus dilawan dan dibasmi.
Teologi kematian senyatanya merupakan perluasan dari teologi kekuasaan yang dianut kelompok radikal. Teologi itu -menurut Khaled Abou elFadl (Islam and Theologi of Power, 2001) berakar dari perasaan kalah, frustrasi, dan alienasi mereka yang hebat. Bukan hanya terhadap institusi kekuasaan modern, tapi juga terhadap warisan dan tradisi Islam. Sebagai kompensasinya, mereka membangun supremasi puritan yang menjadikan mereka dapat membangun sikap arogansi kebenaran distingtif vis-a-vis kelompok di luar mereka.
Dalam membangun supremasi kekuasaan tersebut, mereka meleburkannya dengan teologi kematian. Teologi itu bernilai sangat signifikan. Sebab, melalui itu, mereka bisa menumbuhkembangkan kepada kelompok dan pengikutnya, terutama kaum muda, keberanian tanpa tara. Kematian adalah surga dengan bidadari dan segala fasilitasnya yang sangat menjanjikan.
Reduksi Agama
Isy kariman aw mut syahidan, hidup mulia atau mati syahid, sebagai salah satu slogan mereka seutuhnya merepresentasikan amalgamasi (pencampuran) teologi kekuasaan dan kematian yang mereka anut. Melalui pemahaman literalistik, mereka menyikapi segala sesuatu secara dikotomis dalam oposisi biner. Misalnya, Barat mesti bertentangan dengan Islam. Demikian pula, Islam mereka pasti benar, yang harus menegasikan pemahaman keislaman di luar kelompok mereka.
Pola pandang itu pada gilirannya mengantarkan mereka kepada keyakinan inkompatibilitas peradaban kontemporer yang berasal dari Barat dan Islam. Kehadiran Barat membuat mereka merasa ditundukkan dan dilemahkan yang tidak memungkinkan mereka hidup dalam kemuliaan. Untuk melawannya, mereka lalu berupaya membangun kekuatan dan kekuasaan; suatu kekuasaan yang dalam anggapan mereka tidak bisa dipatahkan oleh kelompok mana pun dan kekuatan apa pun.
Dalam tataran itu, mereka bergantung kepada teologi kekuasaan dan kematian. Dengan teologi tersebut, kematian pun menjadi modal untuk meneguhkan kekuasaan mereka. Satu tetes darah dari kelompok sendiri diupayakan menghasilkan banjir darah dari kelompok di luar mereka, entah dari sesama muslim, apalagi yang bukan muslim.
Di tangan mereka, agama mengalami reduksi begitu parah. Agama Islam yang sebermula sekali hadir untuk menjadikan manusia, khususnya umat Islam, sebagai khalifah Tuhan yang bertugas memakmurkan dunia dan melestarikan kehidupan diperas menjadi media untuk memorakporandakan dunia dan kehidupan. Nilai-nilai dan ajaran Islam universal tentang pengendalian diri, pengembangan dialog, kesabaran, husnuzzan, dan sejenisnya terpangkas oleh dendam kesumat, arogansi, dan prejudice.
Islam Agama Moral
Melihat eskalasi penyebaran dan penguatan radikalisme yang berlindung dalam baju Islam dengan dampaknya yang cukup mengerikan terhadap kemanusiaan dan kehidupan, pembumian visi Islam menjadi tidak terelakkan. Kehadiran Islam sebagai rahmat bagi umat manusia, alam, dan kehidupan tidak bisa ditawar-tawar. Untuk meyakini kehadiran Islam sebagai berkah dengan segala turunannya, kita perlu -sebagaimana dinyatakan al-Syatibi dalam al-Muwaffaqat- membaca teks-teks suci secara holistik. Alquran tidak bisa dibaca dan dipahami secara sepotong-potong. Pemahaman secara menyeluruh dan utuh akan mengantarkan pembacanya -siapa pun dia, apalagi muslim- kepada konklusi bahwa maqashidus syariah; tujuan Islam semata-mata untuk kemaslahatan umat Islam, manusia, dan kehidupan.
Karena kehadiran Islam untuk kemaslahatan, dipastikan Islam adalah agama moral. Nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam Alquran dan as-Sunnah akan terkuak secara utuh dan transformatif -menurut El Fadl- hanya jika sumber Islam tersebut dipahami melalui pendekatan moral. Dari sini akan terpampang dengan jelas betapa besar komitmen Islam mengenai pengembangan moralitas luhur; dari pengendalian diri, pengembangan kesabaran, hingga pembumian keadilan.
Pada gilirannya, kehadiran Islam sebagai rahmat bagi alam dan kehidupan perlu di-breakdown menjadi isu-isu strategis dan kemudian dikembangkan ke dalam program-program transformatif. Sejalan dengan itu, skala prioritas juga mutlak menjadi bagian dari agenda tersebut.
Skala prioritas yang sangat mendesak untuk segera dirumuskan secara konkret, antara lain, pendidikan keislaman (dalam arti luas) bagi generasi muda muslim. Isu ini sangat urgen dikedepankan terkait dengan rentannya kelompok muda untuk terjebak ke dalam ideologi radikalisme. Mereka relatif mudah masuk dalam perangkap karena mereka berada dalam masa pencarian identitas. Mereka umumnya tertarik pada hal-hal yang bernuansa eksklusif, menantang, dan penuh impian. Radikalisme nyaris memberikan segala yang diimpikan mereka.
Berbicara mengenai pendidikan tersebut, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dituntut berada di garis depan. Moderatisme dan apresiasi terhadap kesejarahan umat yang dianut dua kelompok itu merupakan modal besar untuk pengembangan pendidikan keislaman yang lebih mencerahkan dalam berbagai aspeknya, dari moralitas hingga peradaban Islam.
Kedua organisasi Islam terbesar itu perlu duduk bersama merancang pendidikan yang dapat mengantarkan generasi penerus menjadi kalifah-kalifah Allah yang lebih mumpuni dan lebih bertanggung jawab kepada kelangsungan hidup umat Islam, umat manusia, dan dunia. Yang tidak kalah penting, kelangsungan Indonesia sebagai NKRI.
Sumber : Jawa Pos Minggu, 27 September 2009
Abd. A’la, guru besar dan pembantu rektor I bidang akademik IAIN Sunan Ampel Surabaya