TEMPO Interaktif, Mayoritas warga kita memang beragama, tapi pakar Islam asal Belanda, Karel Steenbrink, pernah melontarkan kritik bahwa Indonesia itu "too much religions!". Maksudnya, segala sesuatu sering dikait-kaitkan dengan Tuhan, termasuk pada waktu gempa dan pada hari-hari terakhir ini.
Berhubung tidak punya pola pikir ilmiah, warga kita pun gampang dikelabui isu gempa, entah lewat kabar dari mulut ke mulut atau lewat SMS. Misalnya, di Jawa Timur pernah beredar isu lewat SMS yang menyebutkan pada Rabu, 7 Oktober 2008, pukul 1 dinihari, Jawa Timur akan diguncang oleh gempa bumi dengan kekuatan 8,8 pada skala Richter (SR). Warga pun panik luar biasa. Tak ketinggalan pula para orang tua siswa memaksa sekolah untuk mengakhiri proses belajar-mengajar lebih awal. Di Jakarta juga beredar SMS pada 24 Oktober bakal terjadi gempa. Ke depan, pasti akan ada SMS gempa seperti ini yang dilakukan oleh orang iseng.
Masih lakunya SMS seperti itu jelas menunjukkan sebagian besar dari kita memang belum berani berpikir kritis, benar, dan ilmiah, tanpa mengabaikan agama atau Tuhan. Ini jelas sebuah eskapisme keagamaan atau fatalisme iman daripada sebuah tindakan bertanggung jawab.
Tak mengherankan jika setiap terjadi bencana, yang paling sering dilakukan adalah melakukan simplikasi bahwa bencana itu sebagai hukuman atau kutukan. Bahkan ada ustad yang langsung mengutip ayat-ayat bencana dalam Al-Quran disertai nada yang sangat emosional, entah sebagai tanda penyerahan diri atau mungkin sebagai tanda ketidakberdayaan dalam memahami sains.
Kita tentu masih ingat, setelah gempa Sumatera Barat pada 30 September lalu, beredar SMS atau tulisan di Internet yang mengaitkan waktu terjadinya gempa di Sumatera Barat dengan ayat Al-Quran. Misalnya waktu terjadinya gempa itu, yakni 17.16 WIB, dikaitkan dengan QS 17:16 yang berbunyi, "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadap perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya."
Sedangkan gempa di Jambi, yang jatuh pada 1 Oktober 2009 pukul 8:52, dikaitkan dengan QS 8:52: "(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah mahakuat lagi amat keras siksaan-Nya."
Pengaitan waktu gempa dengan ayat Al-Quran sebenarnya kurang berdasar. Pasalnya, menurut BMKG, hampir tiap hari di negeri kita terjadi 10 hingga 20 gempa dari yang ringan, sedang, hingga kuat. Mengapa tidak tiap hari dicari ayatnya?
Ulama menolak
Ulama sekaliber Dr Yusuf Al-Qaradlawi pernah memfatwakan dan menyebut bid'ah setiap upaya menghubung-hubungkan segala kemukjizatan angka dengan Al-Quran. Jangan lupa pula, gempa bumi di Padang atau Tasikmalaya adalah suatu sunatullah atau hukum alam yang bahkan oleh para pakar gempa disebut sebagai suatu keniscayaan sama halnya dengan turunnya hujan, badai, kemarau, dan lain-lain. Jelas sebuah analisis dangkal mengaitkan waktu gempa dengan ayat Al-Quran. Di negara rentan gempa ini, sebenarnya tiap hari memang ada gempa, meski berkekuatan rendah. Mengapa ini tak dikaitkan dengan ayat Al-Quran? Menurut Goenawan Mohamad, kalau kita percaya Tuhan sebagai pemicu gempa, kita percaya pada Tuhan yang kejam.
Sekali lagi, kita memang belum mampu berpikir ilmiah sekaligus beragama dan beriman secara tepat, sehingga merespons secara keliru setiap kali terjadi gempa atau bencana alam. Kita harus kembali menyadari bahwa Tuhan menciptakan semesta alam ini dengan hukum-hukumnya sendiri. Menurut kajian geologi, bumi dengan berbagai lapisan tanahnya selalu berkembang, berubah, memuai. Tiap satu lapisan dengan lapisan lain bisa bertumbukan. Akibat tumbukan itu, muncullah gempa seperti di Sumatera Barat atau Jawa Barat. Gempa tetap akan terjadi di Sumatera Barat seandainya kawasan itu tidak dihuni manusia, karena memang sudah menjadi keniscayaan gempa itu terjadi.
Gempa di Sumatera Barat atau Jawa Barat membawa banyak korban manusia tewas, bukan karena gempa itu sendiri, melainkan karena rumah, gedung, dan infrastruktur yang dibuat manusia. Kebanyakan korban tertimpa atap, gedung, atau tertimbun di dalamnya sehingga tewas. Jadi ternyata penderitaan yang berkaitan dengan gempa sebenarnya dipicu oleh manusia sendiri. Hanya akibat manusia salah atau keliru di dalam mengenali hukum alam atau sunatullah, terjadilah penderitaan yang begitu luar biasa.
Hukum alam
Karena itu, yang perlu dilakukan ialah memahami hukum alam, mengerti geologi, memahami sains atau iptek sebagai turunan dari ilmu tauhid atau akidah. Selanjutnya, manusia yang cerdas perlu memilih tempat tinggal atau piawai dalam membangun infrastruktur yang tahan terhadap gempa.
Sangat disesalkan bahwa kita, yang secara geologis tinggal di wilayah rentan gempa, lebih suka merespons fenomena seperti gempa dari kacamata mistis atau pendekatan agama yang salah. Padahal, kondisi di wilayah rentan gempa jelas menuntut tindakan nyata untuk menyesuaikan dengan kondisinya. Di sinilah sangat mendesak diperlukan mitigasi bencana, yakni pemetaan atau kesiapan dengan membuat langkah untuk menghindari atau meminimalkan dampak dari suatu bencana seperti gempa bumi ini.
Jadi, meskipun manusia berdoa seribu kali kepada Tuhan agar dihindarkan dari gempa, kalau si manusia keliru dalam membangun rumah sehingga konstruksi dan bangunannya tidak tahan gempa, apalagi di kawasan rentan gempa, tetap saja manusia itu akan jadi korban gempa. Beriman kepada Tuhan juga perlu disertai bernalar secara ilmiah. Dan bernalar secara ilmiah bukan berarti menyepelekan Tuhan.
Bagaimanapun, Tuhan tetap punya kuasa atas alam, tetapi alam memiliki hukumnya sendiri sesuai dengan ketentuan Tuhan. Menurut Qur'an, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak terlebih dulu mengubah dirinya. Untuk itu, dunia iptek kita harus dibuat maju sehingga kita tidak terjebak dalam simplifikasi bencana seraya mengutip ayat-ayat bencana.
Made Ayu Nita T.D., pernah kuliah perbandingan agama di Edinburgh University