Selasa, 10 November 2009

Pekik Takbir Bung Tomo



HARI Pahlawan akan kita peringati pada 10 November besok. Yang perlu kita dicermati dari peringatan itu adalah kontribusi konkret agama dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Kalimat takbir Allahu akbar yang diserukan Bung Tomo dari stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) ditangkap oleh rakyat sebagai panggilan jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur 85 hari. Peristiwa heroik itulah yang dicatat sejarah sebagai salah satu faktor penting bagi eksistensi Indonesia yang sudah berusia 64 tahun pada 2009 ini.

Memang, menyinggung perang di Surabaya tidak lepas dari sosok Bung Tomo yang baru tahun kemarin "resmi" diangkat sebagai pahlawan. Dialah orator ulung yang menggerakkan rakyat Surabaya untuk menghadang Sekutu. Pagi hari menjelang penyerbuan Inggris, Bung Tomo mengobarkan semangat perlawanan rakyat lewat corong radio pemberontakan.

"Bismillahirrahmanirrahim... Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu akbar..! Allahu akbar..! Allahu akbar...! Merdeka !".

Kalimat basmalah sebelum pidato serta takbir menjelang penutupan pidato tersebut tentu cukup menarik untuk dicermati. Sebab, menilik latar belakangnya, Bung Tomo hampir tidak pernah menjalani aktivitas yang erat kaitannya dengan dunia santri.

Sejak lahir pada 3 Oktober 1920 hingga perang "bonek" itu pecah, dia lebih banyak bersentuhan dengan kalangan nonsantri. Jika Surabaya ketika itu punya dua "area" santri -Ampel dan Plampitan- Bung Tomo pun bukan "alumnus" kedua-duanya.

Pertanyaannya, kenapa Bung Tomo begitu fasih memekikkan takbir untuk menggugah perlawanan? Jawaban klise adalah Bung Tomo memiliki kedekatan dengan para ulama. Sudah tentu, jawaban tersebut kurang memuaskan karena pada zaman itu setiap ideologi bisa berdialog tanpa harus kehilangan identitas. Misi merebut dan mempertahankan kemerdekaan berhasil mendekatkan jarak antarideologi. Meskipun, dalam babak Indonesia selanjutnya, "pertarungan" itu cukup keras.

Disertasi William H. Frederick, In Memoriam: Sutomo, tampaknya, menjadi benang merah untuk menjawab misteri takbir Bung Tomo. Buku yang diterjemahkan dengan judul Bung Tomo: Pandangan dan Gejolak (1979) itu menyebutkan, pekik takbir dilakukan setelah melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Takbir digunakan untuk menarik perhatian umat Islam yang berada di Surabaya, tetapi belum terjaring dalam perlawanan. Artinya, Bung Tomo, sepertinya, cukup tahu bahwa pejuang yang terjun di lapangan adalah kalangan santri, yang sebagian besar datang dari luar kota.

Faktanya, pidato menggelora Bung Tomo membuat semangat heroisme para pejuang di lapangan semakin mantap. Sebab, dalam tradisi Islam, penggunaan takbir untuk mempertahankan tanah air sama halnya dengan panggilan perang suci. Pidato Bung Tomo seakan menjadi sangkakala dimulainya sebuah pertempuran yang sulit dibedakan sebagai tindakan berani atau bodoh. Meski bersenjata seadanya, rakyat dengan gagah berani berhadapan langsung melawan tentara Inggris yang akan menyelundupkan tentara Belanda. Perang face-to-face itulah yang membedakan Surabaya dengan daerah lain yang cenderung memilih taktik gerilya.

Benang merah keterkaitan itu semakin terlihat dengan "terkuaknya" resolusi jihad yang difatwakan Nahdlatul Ulama (NU) 18 hari sebelumnya. KH Hasyim Asy'ari memerintah KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syamsuri mengadakan rapat dengan kiai se-Jawa dan Madura di Kantor PB Ansor NU, Jalan Bubutan VI/2, 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, atas nama Pengurus Besar NU, Kiai Hasyim mendeklarasikan jihad fi sabilillah. Fatwa itulah yang kemudian disahkan dalam Muktamar Ke-16 NU di Purwokerto pada 26-29 Maret 1946.

Lima butir resolusi jihad adalah; pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan; kedua, RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong; ketiga, musuh RI ialah Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu; keempat, umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali; dan kelima adalah perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, bantuan material bagi yang berada di luar radius tersebut.

Butir-butir resolusi jihad itu menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 harus dipertahankan oleh seluruh rakyat Indonesia. Seturut dengan resolusi jihad itu, berbagai ulama meresistansi keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Di Jogjakarta, misalnya, Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo menegaskan perang kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Siapa yang belum pernah ikut berperang melawan penjajah dan bahkan hatinya tidak berhasrat, status munafik akan mengiringinya saat meninggal dunia.

Resolusi jihad mampu menyulap berbagai pesantren dari tempat pendidikan menjadi markas laskar Sabilillah dan Hizbullah untuk diberangkatkan ke Surabaya. Di antara alumnus dua laskar yang masyhur ikut bertempur di Surabaya adalah KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, KH Baidowi, KH Mukhlas Rowi, KH Sulanam Samsun, KH Amien, KH Anshory, dan KH Adnan Nur. Namun, panggilan hati sebagai penjaga umat membuat para kiai itu tidak melanjutkan karir militernya secara maksimal setelah revolusi fisik. Mereka pun kembali mengasuh pesantren. Bahkan, menyingkir dari arena politik sama sekali.

Untuk kondisi sekarang, peran mereka yang begitu heroik mungkin sudah "dilupakan" oleh generasi kontemporer. Sebab, kiprah mereka memang tidak terdokumentasi dalam buku sejarah Indonesia konvensional, lebih-lebih bahan pembelajaran di sekolahan. Namun, pekik takbir Bung Tomo yang laris diputar setiap 10 November adalah bukti bahwa ulama bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan. (*)

*). Muh. Kholid A.S., redaktur pelaksana Majalah MATAN PW Muhammadiyah Jatim