Oleh: Said Aqiel Siradj
Islam berasal dari kata aslama yang bermakna ''damai". Penyebarannya di Indonesia pun terbukti tidak menimbulkan konfrontasi dengan para pemeluk agama sebelumnya. Masuk pertama melalui Pantai Aceh, Islam dibawa para perantau dari berbagai penjuru, seperti Arab Saudi dan Gujarat. Islamisasi damai itu berkat kepiawaian para dai dalam memilih media dakwah, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dalam penggunaan media budaya, sebagian dai memanfaatkan wayang sebagai salah satu media dakwah.
Para pembawa panji Islam itu juga memanfaatkan aspek ekonomi untuk mengembangkan nilai-nilai serta ajaran Islam. Dari berbagai literatur, terungkap bahwa aspek tersebut menempati posisi cukup strategis dalam upaya Islamisasi di bumi Nusantara. Salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat Nusantara mengikuti agama para pedagang itu adalah tata cara dagang mereka serta perilaku sehari-hari lainnya yang dianggap menarik dan lebih mengenai dalam sanubari masyarakat setempat.
Setelah menancapkan pengaruh di Indonesia, Islam lambat-laun mulai meningkatkan peran ke areal politik melalui upaya mendirikan kerajaan Islam. Antara lain, Kerajaan Pasai, Kerajaan Demak, Mataram, dan Pajang. Lalu, semua itu mengalami keruntuhan karena berbagai faktor, baik konflik internal di antara para anggota keluarga kerajaan maupun faktor eksternal semisal serbuan para kolonialis seperti Portugis dan Belanda. Namun, posisi Islam tetap kukuh serta makin menyatu dengan kehidupan masyarakat dan hampir selalu memperlihatkan wajahnya yang ramah dan santun. Gejolak yang bersifat radikal nyaris tak terdengar.
Yang bisa dipetik dari fakta di atas adalah, sejak awal kedatangan Islam di Nusantara, tak pernah tersemai jiwa-jiwa teroris. Umat Islam di negeri kita yang memegang akidah Ahlussunnah wal Jamaah selalu bersikap moderat. Hanya belakangan ini bermunculan kelompok Islam yang bersifat ''impor". Mereka membawa ''ideologi" yang sering keras dan berbuah pada terorisme.
Itu akibat pemahaman Islam secara tekstualistik yang bisa mendatangkan sikap ekstrem. Padahal, Alquran tidak melegitimasi sedikit pun segenap sikap dan perilaku yang melampaui batas. Dalam hal ini, ada tiga sikap yang dikategorikan ''melampaui batas".
Pertama, ghuluw. Yaitu, bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan.
Kedua, tatharruf. Yaitu, sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi kepada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat.
Ketiga, irhab. Ini yang terlalu mengundang kekhawatiran. Sebab, bisa jadi, sikap itu membenarkan kekerasan atas nama agama. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi. Tentang sikap berlebihan ini, Allah sudah berfirman seperti berikut, ''Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar." (QS al-Nisa': 171)
Idealnya, seorang muslim harus memahami ajaran Islam secara utuh, sehingga ajaran Islam tersebut memberikan dampak sosial yang positif kepada dirinya. Alangkah kering dan gersangnya agama ini jika ternyata aspek eksoterik dalam Islam hanya sebatas legal-formal dan tekstualistik. Sebuah ayat tentang jihad akan terasa gersang apabila pemahamannya dimonopoli tafsir ''perang mengangkat senjata". Padahal, jihad di masa Rasulullah merupakan satu wujud pembebasan rakyat untuk menghapus diskriminasi dan melindungi hak-hak rakyat demi terbangunnya sebuah tatanan masyarakat yang beradab.
Kita memerlukan Islam yang tampil dengan wajah ramah. Keterikatan kepada bentuk-bentuk lahiriah yang terlalu setia dengan abai pada inti ajaran Islam bisa jadi akan menghambat ajakan kita kepada orang-orang untuk kembali ke ajaran Islam. Sekarang, kita sering menemukan orang-orang yang berdakwah, tetapi yang mereka teriakkan adalah hal-hal yang membuat orang makin menjauh dari Islam. Orang-orang yang datang untuk mencari ilmu dalam sebuah pengajian disirami dengan kecaman dan ejekan dengan suara keras yang menjauhkan kecintaan mereka kepada agama.
Penulis adalah ketua Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU)