Sabtu, 11 Agustus 2012

Alhamdu Dan Ke Esa-an Allah (2)


Adapun puji hadits alal qadim, sebagaimana diterangkan pada kesempatannyang lalu, kita memperoleh kenikmatan-kenikmatan oleh Allah SWT. Entah itu kenikmatan-kenikmatan yang sekecil apapun sampai kenikmatan besar yang Allah berikan. Kenikmatan yang paling besar apa? Nikmatul iman wal islam, sehingga kita memuji Alhamdulillahi alal ni’matul iman wal islam, ini adalah ni’mat yang paling agung.
Keni’matan sekecil apapun tidak lepas dari Allah SWT. Disamping keni’matan yang tampak bagi kita, ada pula kenikmatan yang tersmbunyi atau bersifat sir, seperti orang bersin, orang wahing, orang kena pilek. Orang yang kena pilek yang hubungannya  bersin, mengapa kita disuruh mengucapakan alhamdulilllah? Karena didalam penyakit itu ada ni’mat tersendiri, apa ni’matnya?

Setiap orang mengeluarkan umbel atau ingus. Ingus itu bersumber dari otak kecil sampai ke ginjal, rahasianya apa? Sampai orang bersin disuruh mengucapkan al hamdulillah, orang yang bersin menggerakkan jantung kurang normal, itu satu, yang kedua menyetabilkan ginjal. 

Mengeluarkan jenis segala penyakit yang membahayakan, seperti lepra, kusta dan lain sebagainya, walhasil penyakit-penyakit yang berat itu dikeluarkan pada saat kita bersin, makanya diperintahkan mengucapkan Al hamdulillah.

Nah dari sini kita memuji Allah atas segala nikmatnya. Oleh karenanya anda, kita semua disuruh mengucapakan Alhamdulillah. Orang keluar ingus siapa yang tidak sumpek, tapi kenyataannya justru didalam kesumpekan kita itu ada kandungan penyakit yang luar biasa, dengan bersin penyakit itu keluar, itu diantaranya.

Makanya kita disuruh untuk mengucapkan Alhamdulillah. Tapi perlu diingat adanya puji Hadits alal Qadim jangan kita berpendapat, bahwa dengan pujian kita itu menguntungkan bagi Allah, “sama sekali tidak”. Maka disini kita mengatakan Alhamdulillah “segala puji milik Allah bukan bagi Allah”, apa perbedaannya milik dengan bagi.

Kalimat “puji Bagi  Allah” mengandung pengertian sudah ada yang memuji, yaitu makhluk yang diciptakan olehNya. Kalau Allah Ta’ala tidak menciptakan makhlukNya, apakah tetap puji itu bagi Allah. Makanya yang tepat adalah segala puji milik Allah, sehingga kalau Allah ta’ala tidak menciptakan makhluK, tetap segala puji milki Allah. Allah Ta’ala maha, tanpa dipujipun dalam segala-galanya “maha sempurna”.

Yang ke empat adalah puji ma bainal hawadits, makhluk saling memuji satu sama lainnya. Antar ulama dengan ulama, antar nabi dengan nabi saling mengangkat saling menjunjung, saling memuji dan lain sebagainya.

Nah dari itu, al hamdulillah itu menunjukan wahidun fi dzatihi (esa dalam dzatNya), wahidun fi sifatihi (esa dalam sifaNya).

kalau wahidun fi dzatihi sudah jelas. Mengapa wahidun fi sifatihi, bukan fi asmaihi? Anna sifatillah la tajdadu wala yanqusu, sifatnya Allah Ta’ala yang 99, sampai yang seribu, tidak akan berkurang, tidak akan bertambah. Mau menciptakan alam semesta ini, mau memberikan kasih sayang dengan arrahman-arrahimNya, sama sekali tidak akan mengurangi ataupun menambah kebesaran Allah.

Seumpamanya Allah Ta’ala menciptakan penduduk surga, dengan kemewahan ahli jannah dan penghuni jannah itu sendiri, yang merupakan Ibadihas Sholihin (hamba-hamba Allah yang salih), Auliya’ wa Anbiya’ yang luar biasa, sama sekali kasih sayang Allah dengan rahman rahimNya tidak akan bertambah atau berkurang karena pujian hambanya yang didalam  surga atau karena menciptakan surganya.

Juga demikian dengan sifat al Qaharnya Allah Swt. Al Qaharnya Allah Ta’ala bukan karena menciptakan neraka, tidak menciptakan nerakapun  Allah Swt  tetap mempunyai sifat Al Qahar. Al intikom, al muntaqimu, jadi Allah SWT sama sekali tidak mengambil manfaat, keuntungan atau kerugian  dengan tidak menciptakan atau menciptakan makhluk, Ini yang dimaksud denang wahidun fi sifatihi. Dan wahidun fi af’alihi.

Allah Ta’ala kalau menciptakan, istilahnya adalah “ta’sir”, tapi kalau selain Allah Ta’ala “kasab” Ikhtiyar dan lain sebagainya, tapi kalau Allah Ta’ala yang menghendaki idza arada saian ayyakulalahu kun fayakun, faillam yasa’ lam yakun, (kalau Allah menghendaki sesuatu, Allah berfirman ‘jadilah, maka jadi. Jika tidak menghendaki tidak akan jadi), itu diantaranya.

Umpama Allah Ta’ala tidak ada yang memuji, ya tetap terpuji, lalu dimana letaknya terpuji kalaupun tidak menciptakan apa-apa, dimana letaknya? Ya dikekuasaanNya, Allah tidak menghendaki menciptakan dan tidak ada lainnya, itulah terpujinya Allah Ta’ala, sebab itu menunjukan hak-Nya Allah Swt; anatara menghendaki menciptakan dan tidak menciptakan.

Kalau toh menciptakan “tetap terpuji” karena itu ciptaannya Allah SWT. Justru dengan tidak menciptakannya tetap maha sempurna, menciptakan sesutau juga Allah Ta’ala tetep maha sempurna. Tidak menciptakan? Dimana letak maha sempurnanya? Menunjukan kekuasaan Allah Swt yang tidak mempunyai Azj wal karahah wa ani sahwi wa nisyani wal baladah, tidak terkena sifat lemah, lupa, lalai dan sifat bodoh, tidak pula wa ani dzuhul wal wahmi wal ghoflah. Sama sekali disini, Allah Maha dalam semuanya.

Kalau selain Allah tidak menciptakan ada kekurangan, dan justru setelah menciptakan, malah lebih kelihatan kekurangannya. Contohnya gampang, seseorang diberikan ilmu oleh Allah SWT bisa membuat sepeda atau sepeda motor, pinter ndak? ‘Pinterkan’ diberi ilmukan? Seandainya sepeda motor anda, anda pinjamkan ke orang, dinyalakan, jalan, kamu bisa mengejar tidak? Padahal yang buat itu yang mengejar laju motor tadi.

Mestinya anda harus menguasai kendaraan itu secara total. ‘Saya akan buat kendaraan yang bisa melaju dengan cepat’, tapi nyatanya setelah itu sudah bisa jalan kamu sendiri tidak bisa mengejar, kurang ndak? Yang kedua, tidak sekali-sekali anda membuat sepeda atau sepeda motor, kecuali menunjukkan apa? Menunjukkan terbatas kemampuan anda berjalan, tidak bisa cepat, perlu bantu, lebih kurang tidak?!

Itu kelihatan sekali, tadinya sebelum menciptakan itu sudah kurang, tapi justru setelah kamu menciptakan malah menunjukkan kurangnya. Itu semua “mustahil bagi Allah”. Satu contoh saja yang jelas, orang bisa menciptakan jet istimewa luar biasa, Alhamdulillah. Tapi justru  itu menunjukan kekurangannya apa? Yang buat tidak bisa seperti itu padahal hasil buatannya sendiri. Lha yang lucu kan disitu.

Dan banyak lagi contoh-contoh yang cukup unik. Ketika kamu makan, kamu diberi kekuatan oleh Allah SWT. Tangan mengangkat, mengambil makanan dari piring, kamu ambil nasi sesuap, kamu masukkan ke dalam mulut, tapi ketika dalam mulut kamu kunyah makanan itu, begitu anda telan, mampu apa anda disitu? Mampu tidak? Bisa mengatur jadi darah merah, bisa menjadi darah putih semuanya ? Supaya jadi keringatnya yang baik, yang jadi najis, sedikit saja, tidak usah banyak-banyak, kotoran air kencing itu, bisa ngatur?!

Nah kita itu ditunjukkan oleh Allah SWT. Setiap hari, kita di tantang oleh Allah Ta’ala; ‘ Ayo sampai dimana kemampuanmu, tunjukan pada-Ku mana rasa kuasamu? Akhirnya kita mengucapkan apa? Setelah kita menyadari tidak ada kemampuan? Setiap selasai makan kita mengucapkan “Alhamdulillah”. Setelah kita tidak mempunyai kemampuan apa-apa Kita kembali lagi, oo.. ternyata “Alhamdulillah”.

Semuanya sudah haknya Allah Ta’ala, mau jadi darah semua terserah, mau jadi darah putih terserah, itu adalah kuasa dan haknya Allah Ta’ala. Kita hanya dapat berkata “Alhamdulillah”. Itu istimewanya disitu. Mau jadi buruk, mau jadi baik, terserah Allah Ta’ala, kalo sudah masuk semuanya.

Satu contoh lagi, ini diluar kemampuan logika, ketika barang itu belum keluar La hukma lahu, tidak bisa kita hukumi. Najis itu kan setelah keluar, ya kan? Mengantongi najis Cuma tidak keluar, nah yang kita makan itu, sisa-sisa ulasan pencernaan itu tadi kan masih kotor, bejananya masih kotor, yang jadi najis, yang jadi apa saja masih bekas disini. Makanan masuk lagi mukhalatoh, tapi justru bisa dipisahkan oleh Allah SWT.

Bisa jadi darah merah, darah putih dan lain sebagainya, kita melahat kenikmatan yang demikian, karena ilmu itu kita tidak bisa mngatur itu semua, kita hanya bisa mengucapkan “Alhamdulillah”.

Maka kalimat  Alhamdu mujmal, global, sehingga kalimat itu merangkum semuanya. Dari haknya Allah Ta’ala, dari hambanya kepada Allah SWT. Ini diringkas dalam kalimah Alhamdulillah. Kalimat Al hamid, Al majid tetap tidak berkurang atau bertambah karena adanya makhlukNya. Wallahu ‘A’lam.Sumber