Temanku Jeffrey, turunan Cina-Manado. Baru lalu ia bikin kejutan besar di lingkungan gaulnya: JJ begitu ia disapa, ikhlas memeluk Islam hingga dapat predikat mualaf fresh. Sebagai muslim keturunan dan teman dekatnya, saya penasaran setengah mati, kok bisa-kok mau? Bukan apa-apa, JJ punya gaya hidup yang jauh dari ‘rasa’ muslim dilihat dari kacamata awam. Ia intelek (bukan berarti muslim nggak intelek lo!), lihai bergaul dengan gadis-gadis cantik, bertampang bagai bintang Mandarin, langganan dugem, sangat konsumtif, realis sejati dan berdaya rasional minta ampun. Lha…, ada angin apa ujug-ujug bershahadat secara takzim, di mesjid dekat rumahnya sambil berurai air mata… alhamdulillah, saya jadi saksi peristiwa ajaib ini.
Rasa girang dan syukur saya dikalahkan rasa penasaran. Tarohlah ia dari golongan lempeng, hidup tak banyak gejolak ekstravagansa, jenis manusia tertib dan sejenisnya, keinginan jadi mualaf tak mengejutkan. Tapi JJ lain. Ia bergelimang kehidupan gemerlap, musik menghentak, mobil ceper, miras mahal dan selaksa surga dunia lainnya. Kalau saja dianggap tobat, ia tak perlu menjadi ‘bersih’ dengan shock therapy dibentak manusia berperan malaikat Mungkar dan Nangkir di kuburan palsu, tiang gantungan, pecut sampai jadi berlagak bak mayat dikafani segala. “Maaf, membuat orang tobat dengan cara itu, terus terang saja menggelikan. Orang ingin mencintai Allah kok ditakut-takuti !” katanya sambil terkekeh. Ia mengaku kagum pada idealisma Rabi’ah Al Adawiyyah, cewek Basra (801 M) soal cinta mistik, penyerahan diri total pada ‘kekasih’ –nya Allah lewat puisi mahabah berisi kecintaan sejati.”Itulah cara terindah mendekatkan diri,” kata sahabat saya ini.
Di rumah mewahnya ia berbagi pengalaman. “You tahu kenapa aku tertarik sama kamu punya agama?” katanya dalam. Ia mengaku kagum pada kedalaman Islam dan nafsu keilmuan para ulama. Ia menyakini AL-Quran sebagai pijakan berbagai bidang: politik, fisika, ekonomi sampai etika gaul. Fisika tentang kepastian hukum alam, ada dalam surat Al Qamar 49:Susungguhnya kami menciptakan sesuatu menurut ukuran. Ditambah penguat lain di surat seperti Az Zariyat (47), As Sajdah (11-13), Fatir (14), AT Talaq (12) dan banyak lagi.”Semuanya seperti guidancetemuan-temuan ahli fisika ternama tentang Galaksi, teori dentuman besar (Big Bang) tentang materi dan banyak lagi,” semangatnya. “Pantas saja Ibnu Sina bisa membuat buku Al Magest tentang astronomi, Muhammad Bin Musa, perintis ilmu pasti. Atau Jabir bin Hayyam, bapak ilmu kimia, fisikawan Al Hazen alias Ibnu Haitam dan banyak lagi,” cocor JJ sambil ngasih bonus data: Paus Silvester II (999-1003) yang bernama asli Gerbert Of Auvergne, penyelidik angka-angka arab dan memperkenalkan angka nol pengganti angka Romawi di Eropa adalah lulusan perguruan tinggi Islam Qairawan di Afrika Utara. Universitas itu ada di bawah kekuasaan Daulah Al-Muwahhidun.
Sosial kemasyarakatan juga disasar JJ. “Hebat sekali ya Nuruddin Ar Raniri, ulama Aceh abad 17 itu!” Saya bingung karena nggak kenal. “Selain penyebar bahasa Melayu di Asia Tenggara ia juga penulis produktif bidang perbandingan agama, filsafat, akidah sejarah juga mistik,” katanya serius. Sekilas ia juga menganalisa sepak terjang ulama besar, KH Hasyim Ashari, Ali Ma’soem sampai ulama yang juga sastrawan H. Mahbub Djunaidi.
Menjelang subuh kami habiskan tak terasa. Di penghujung malam itu, otak saya lelah ‘melouding’ data dari dirinya. Pengalaman intelektualnya menjadi mualaf membuat saya iri kepadanya. Sepanjang hidup menjadi muslim, saya mengalami kekeringan data dan merasa jalan di tempat.Akh, seperti membaca kegundahan saya, ia mengeluh. ”Sayang…sayang! Info ikhwal kecanggihan Islam harus diburu melalui literature mahal di perpustakaan dan buku-buku. Sharing data yang dalam belum maksimal dilakoni mubalig pada umat. Mau contoh? Saya keliling-keliling mencari ilmu lewat kutbah Jum'at. Yang didapat: retorika repetitif, kadang mengulang-ulang itu-itu saja. Diskripsi soal hukuman neraka kalau Anda menyimpang atau sebaliknya iming-iming nikmatnya surga jika berjalan sesuai aturan. Makin gawat, kadang bernada marah-marah, menyalahkan kaum lain apalagi agama lain soal kemunduran internal yang dialami masyarakat Islam. Humanisme seringkali kalah oleh rasa menjadi pemilik kebenaran. Kok harus begitu? Apa tak ada materi dan jalan lain?” katanya tinggi.
Saya lihat api Islam membara dalam dirinya. Ia seperti ingin menjadi aternatif, pasukan pembaharu sebagai penyegar suasana sumpek yang sering dirasakan. Saya seperti menaruh harapan besar pada dirinya. Saya gambarkan
ia sedang mengisi bahan bakar yang cukup untuk turun gunung. Ia bagai anak panah yang belum mau lepas dari busurnya roh pembaharu. Saya yakin, ia akan menjadi barisan potensial bersama saya dan teman-teman lainnya.
Tak terasa adzan subuh berkumandang. Kamipun wudlu dan masuk mushola mewah di belakang rumahnya. Iapun mempersilakan saya menadi imam. Ini baru mualaf fresh. Subhanallah….
Oleh: Isfandiari
Penulis adalahPemerhati masalah sosial