Berinteraksi dengan orang yang faham itu memang sangat menyenangkan. Orang tua yang faham dengan anak-anakya akan menjadi orang tua yang paling dicintai. Guru yang faham dengan murid biasanya akan menjadi guru favorit. Tetangga yang faham dengan keadaan tetangga sekitarnya akan menjadi tetangga teladan. Imam yang faham dengan kondisi makmumnya akan dirindu kehadirannya. Dan khotib yang faham dengan kondisi jama’ahnya pasti enak didengarkannya.
Penulis pikir begitulah model kehidupan kita di dunia ini. Maka sebaliknya jika ada khotib yang tidak faham dengan kondisi jama’ah resah mendengarkannya, imam yang tidak faham dengan makmumnya akan kurang disukai, guru yang tidak faham dengan muridnya akan sedikit dibenci, dan orang tua yang tidak faham dengan anaknya biasanya akan menjadi orang tua yang kurang dibanggakan.
Khutbah Jum’at
Para ulama mengatakan bahwa khutbah jumat itu bagian dari syarat sahnya sholat jum’at. Artinya jika tidak ada khutbah maka sholat jumat itu tidak sah. Untuk itulah biasanya dari jauh hari pengurus masjid akan menyampaikan petugas khutbah disetiap jumatnya dengan maksud agar khutbah jumat itu bisa lebih teratur dan maksimal.
Ada banyak versi dalam berkhutbah jum’at, semua boleh dipakai, walaupun kita juga harus tahu kondisi dimana kita berkhutbah, jika di Indonesia maka versi khutbah mazhab Syafi’i bisa menjadi acuan pertama:
1. Versi pertamaPemaknaan khutbah itu diserahkan kepada adat kebiasaan setempat, maka setiap ucapan yang tersusun yang itu bagi sebuah masyarakat sudah termasuk dalam kategori khutbah bagi mereka, maka sah berkhutbah dengan yang seperti ini, sebagaimana sahnya jika itu dilakukan berdiri, atau duduk, khutbah dua kali atau hanya satu kali, baik menggunakan bahasa Arab atau memakai bahasa lainnya (Inggris, Jepang, Cina, Indonesia, Jawa, Sunda, Sumatera, dll).
Mereka juga berpendapat boleh berkhutbah walau dengan lafazh tahmid, tasbih, tahlilsaja, karena yang diminta dalam al-Qur’an hanya dzikir secara umum, firman Allah :
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
Versi seperti ini yang diambil oleh mazhab Abu Hanifah. Hanya saja khutbah itu harus dilaksanakan sebelum sholat.
2. Versi keduaBerkhutbah dengan kategori sependek-pendek khutbah dalam bahasa Arab, contohnya hanya dengan mengucap:
اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا أَمَرَ ، وَانْتَهُوا عَمَّا عَنْهُ نَهَى وَزَجَر
“Bertaqwalah kalian kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan, dan jauhilah apa yang Dia larang”
Hanya dengan mengucapkan itu saja sudah sah khutbahnya, walau tanpa ada tambahan yang lainnya. Namun tidak sah jika hanya bertasbih, tahlil, dan takbir saja.
Versi yang kedua harus memakai khutbah dua kali, tidak sah bagi mereka jika hanya khutbah satu kali saja. Kerana Rosul SAW dalam berkhutbah jum’at selalu memakai dua kali khutbah. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Maliki.
3. Versi ketiga
Versi berikut ini dengan memakai dua kali khutbah dan harus memenuhi beberapa ketentuan berikut:
- Harus ada puji-pujian
- Harus ada sholawat kepada Nabi Muhammad SAW dan memakai lafazh sholawat yang sudah masyhur
- Harus ada wasiat ketakwaan, dengan lafazh yang tidak mengikat. Artinya boleh berwasiat dengan variasi berbeda asalkan itu bermakna wasiat kepada ketakwaan.
- Berdo’a (pada khutbah kedua)
- Di dalam khutbah itu ada membaca ayat al-Qur’an (disunnahkan membacanya pada khutbah pertama).
4. Versi keempatVersi yang keempat ini juga memakai dua kali khutbah, dengan memperhatikan poin-poin berikut:
- Ada puji-pujian
- Juga ada sholawatnya
- Ada mau’izhohnya (nasehat) karena sebenarnya inilah inti khutbah.
- Membaca ayat al-Qur’an
- Mengeraskan suara
- al-Muwalah (berurutan atau tidak diselang waktu) antara khutbah pertama dengan kedua, juga tidak diselang waktu antara khutbah kedua dengan sholat. Dan yang terakhir ini adalah versi Imam Ahmad bin Hambal.
Untuk itulah menurut hemat penulis para khotib itu tidak perlu lagi mengulang pujia-pujian dan sholawat yang memang biasanya sudah disebutkan diawali dengan redaksi berbahasa Arab, ada baiknya langsung saja ke dalam konten khutbah yang ingin disampaikan.
Mumpung jama’ah yang hadir masih segar, kesempatan ini jangan disia-siakan hanya untuk mengulang hal-hal yang mereka semua sudah mengetahuinya. Para khotib juga harus berlomba dengan ngantuk yang biasanya akan menghampiri sebagian besar jama’ah yang hadir.
Alangkah sia-sianya kita, jika poin khutbah itu tersampaikan justru disaat sebagian besar jama’ah jumat dalam keadaan ngantuk atau tertidur. Ini sebuah kesia-siaan yang semestinya tidak terjadi.
Maka khutbah yang singkat itu tentunya menjadi pilihan. Apa lagi jika berkhutbah di kota-kota besar yang sebagian jama’ahnya adalah para pekerja, mereka tidak punya banyak waktu, untuk seterusnya harus melanjutkan pekerjaan mereka kembali.
Penulis pikir 20 menit adalah waktu maksimal untuk menyampaikan khutbah yang menarik, padat dan mengena. Jika ada yang ingin mendengar lebih lama mungkin tema khutbah bisa dilanjutkan setelah selesai mengerjakan sholat, dengan membuat semacam halaqoh kecil bagi siapa yang ingin menambah pengetahuan dari sang khotib.
Untuk itulah Rasul SAW mengingatkan:
إنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَ قَصْرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فَقْهَهِ
“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbah merupakan tanda kedalaman fiqihnya.” (HR. Muslim)
Wallahu A’lam Bisshowab
M. Saiyid Mahadhir