Minggu, 26 Juli 2009

Terorisme dan Agama-Agama di Dunia


Oleh: Made Ayu Nita Trisna Dewi
Presiden Konferensi Dunia Agama-Agama untuk Perdamaian KH Hasyim Muzadi meminta semua pihak tidak mengidentikkan aksi terorisme dengan agama tertentu. Hal tersebut dikatakan ketua PB NU itu ketika berdoa bersama para tokoh lintas agama di dekat lokasi ledakan bom (17/7) di Atrium Mal Bellagio di Mega Kuningan, Jakarta, Senin (20/7).

Para tokoh agama lain juga menegaskan, "Pokoknya, terorisme tidak terkait dengan agama". Agama adalah sakral suci dengan misi membawa damai sehingga tidak sepantasnya dijadikan tertuduh atau dikait-kaitkan dengan tindak terorisme. Jadi, persoalan terorisme harus di-exclude dari agama. Agama adalah entitas tersendiri, sedangkan terorisme merupakan entitas yang lain.

Apalagi dari kajian kritis itu, kini juga banyak ditemukan fakta bahwa ada cukup banyak kelompok teroris yang memang sengaja membawa-bawa bendera agama.

Berbagai Agama dan Terorisme

John W. Morehead dalam Armageddon Enters the New Age of Terrorism: A Commentary on Terrorism and Religion (September 2001) sudah banyak menampilkan fakta tindak terorisme yang dikaitkan dengan agama (tentu dari berbagai agama). Dari bendera Hindu, misalnya, ditampilkan tokoh Bhagwan Shree Rajneesh, pemimpin kelompok Rajneespuram. Dia pada September 1984 menggegerkan Amerika Serikat (AS) karena memerintah para pengikutnya untuk meracuni restoran The Dalles di Oregon. Akibatnya, 750 orang yang makan di restoran itu sakit.



Dari agama Shinto, misalnya, kita masih ingat akan tragedi gas sarin yang ditaburkan oleh kelompok Aum Shinrikyo di subway di Tokyo, Maret 1995, yang menewaskan 12 orang dan melukai lebih dari 5.000 orang.

Lalu, dari bendera Kristen, Morehead menampilkan kelompok teroris yang sangat terkenal di AS dengan sebutan Christian Identity Movement. Gerakan itu membawa misi superioritas orang kulit putih (Arya dan Anglo Saxon) sebagai bangsa terpilih, dan AS merupakan tanah yang dijanjikan Tuhan bagi mereka.

Akibatnya, mereka sangat anti-Yahudi dan pendatang selain kulit putih. Bahkan, mereka punya kristologi konyol bahwa Yesus itu bukan orang Yahudi, tetapi berdarah Arya. Gerakan tersebut juga yakin akan masa depan yang rasialis bahwa akan terjadi perang suci antara kelompok mereka dengan Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Tentu, dengan kemenangan akhir diraih kelompok mereka.

Pada 1987, gerakan itu dituding menebar racun pada suplai air untuk dua kota besar di AS, tetapi bisa digagalkan. Salah satu nama terkenal dari gerakan itu adalah Timothy McVeigh, tertuduh pengeboman Gedung Federal di Oklahoma 1995.

Dari Yahudi, Morehead menampilkan, sejak kemunculannya, selalu ada kelompok-kelompok radikal dari agama itu seperti Zelot yang menentang penjajahan Romawi dan Lubavitch Hasidic Movement. Juga, beragam kelompok ultra ortodoks yang meyakini bahwa Tuhan hanya memilih bangsa Yahudi dan akan memenangkan perang suci dengan setiap kelompok yang melawan Israel.

Lalu, bagaimana dengan Islam? Cendekiawan muslim Azyumardi Azra berpendapat, memang tidak ada landasan teologi dalam Islam untuk melakukan teror. Meski begitu, Azyumardi tidak menolak kenyataan bahwa dalam sejarah Islam terdapat kelompok-kelompok tertentu dari kalangan muslimin yang melakukan teror dan kekerasan.

Karakteristik yang Sama

Menarik dicermati bahwa meskipun berasal dari berbagai latar belakang agama berbeda, gerakan-gerakan atau kelompok itu ternyata memiliki karakteristik atau pola yang sama.

Pertama, karena mereka sudah melibatkan agama, tentu saja setiap gerakannya menjadi defender of the faith -pembela agama, bahkan merasa sebagai pembela Tuhan. Tidak heran jika tiap gerakan merasa memiliki kebenaran sehingga mereka bersikap sangat arogan atau otoriter dalam hal iman.

"Hanya kelompokku yang paling selamat. Semua kafir". Jangankan kelompok dari luar agama yang berbeda, kelompok dari latar belakang agama yang sama pun bisa dinilai kafir dan akan masuk neraka. "Hanya kelompokku pemilik kavling surga yang sah!".

Dari keyakinan itu, rata-rata kaum radikal tersebut sama sekali tidak takut mati. Karena begitu mati, mereka yakin akan otomatis masuk surga. Jadi, ada garansi dan rasa percaya diri yang kuat.

Karakteristik dan pola lain yang menonjol, menurut James Barr -guru besar Universitas Oxford penulis buku Fundamentalism- adalah penekanan yang amat kuat akan ketidaksalahan (inerrancy) kitab suci yang mereka anut sehingga mereka punya penafsiran yang sangat skriptural dan literer.

Mereka menerima mentah-mentah setiap kalimat kitab suci, khususnya guna mencari dukungan atau legitimasi untuk setiap tindak kekerasan atau teror yang hendak dilakukan. Mereka hanya mengambil sepotong, tidak memahami makna kitab suci secara holistik.

Pola atau karakteristik lain adalah rata-rata gerakan atau kelompok itu sangat anti klerikalisme atau anti pada pejabat keagamaan dari mainstream. Misalnya, yang di AS anti pada hierarki gereja. Kalau di negara muslim, mereka anti kepada ulama-ulama yang jadi pegangan dari umat kebanyakan.

Akhirnya yang paling penting, agama apa pun memang baik, tetapi jangan lupa yang menghayati agama itu adalah manusia. Manusia itu bisa menjadi sangat jahat sebagaimana teroris yang tidak peduli pada nyawa sesama manusia, bahkan nyawanya sendiri. (*)

*Made Ayu Nita Trisna Dewi (Ay Yauwk Nio), aktivis perdamaian, bekerja di Taipei, Taiwan