Dalam menjalani ibadah puasa ini, saya tertarik pada apa yang pernah disampaikan oleh Sunan Bonang tentang puasa dan hari raya melalui simbol-simbol budaya Jawa. Kata Sunan Bonang, kita harus berpuasa sungguh-sungguh agar setelah berpuasa nanti bisa menikmati kupat. Kupat adalah masakan khas hari raya yang sering menjadi menu utama saat Lebaran. Bentuknya nasi putih yang dimasak di dalam janur, daun kelapa yang masih muda nan putih indah. Kupat yang dibungkus dengan janur ini melambangkan jatining nur, yakni hati yang putih bersih karena telah beribadah puasa dengan keikhlasan dan kesungguhan selama Ramadan.
Kupat juga bisa diartikan sebagai laku sing papat atau empat keadaan yang dianugerahkan kepada mereka yang berpuasa dengan benar, yakni lebar, lebur, luber, labur. Kata Sunan Bonang, orang yang berpuasa dengan ikhlas, iman, dan ihtisaab ketika hari raya akan mendapat empat anugerah laku tersebut. Lebar berarti selesai kewajiban puasanya dengan melegakan, lebur berarti terhapus semua dosa yang dilakukannya di masa lalu, luber berarti melimpah ruah pahala amal-amalnya, labur berarti bersih dirinya dan cerah-bercahaya wajahnya.
Saya sungguh kagum kepada Sunan Bonang, juga kepada wali-wali lain penyebar Islam di tanah Jawa. Mereka telah menerjemahkan pesan penting tentang puasa dengan bahasa dan budaya Jawa setelah menggali dari pesan aslinya yang semula disampaikan oleh Kanjeng Nabi Muhammad dalam bahasa dan budaya Arab. Ajakan Sunan Bonang agar kita berpuasa untuk "Menuju Jatining Nur dan Meraih Laku sing Papat" itu tidak lain digali dari hadis Nabi ketika mengatakan, "Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan penuh kesungguhan (maka) akan diampuni segala dosanya yang telah lalu."
Hadis tersebut diterjemahkan oleh Sunan Bonang dengan cara Jawa, bahwa kalau kita dapat berpuasa dengan penuh keyakinan dan keteguhan sikap (iman) dan dengan penuh perhitungan serta kehati-hatian (ihtisaab), pada bulan Syawal kita akan mendapat jatining nur, yakni hati yang putih-indah seperti janur yang menyehatkan. Ingatlah bahwa kebersihan hati akan menjadi pemelihara yang sangat ampuh bagi kesehatan rohani dan jasmani. Jatining nur itulah yang sejatinya disebut fitrah. Karena itu, barang siapa yang memperoleh jatining nur berarti telah kembali ke fitrah (iedul fithri). Jatining nur atau hati yang putih-bersih tersebut diperoleh karena semua dosa kita di masa lalu telah dibersihkan dan diampuni oleh Allah. Nah, orang yang mendapat ampunan dari segala dosa itu berhak menikmati empat keadaan (kupat, laku sing papat). Orang yang berpuasa dengan iman dan ihtisaab akan memasuki lebar (lebaran) atau menyelesaikan tugas dengan baik. Orang yang menyelesaikan tugas puasa dengan baik akan lebur (habis) semua dosanya, bahkan orang tersebut juga menikmati luber (melimpah ruah) pahala amal-amalnya sehingga menjadi labur atau indah berseri wajahnya.
Petuah Sunan Bonang tentang jatining nur dan laku sing papat dapat kita jadikan bahan refleksi dalam beribadah puasa. Dalam Ramadan ini, kita harus berusaha untuk melaksanakan ibadah puasa secara sungguh-sungguh agar meraih fitrah dengan jatining nur dan laku sing papat itu. Hasilnya tentu dapat dinilai dan dirasakan oleh diri sendiri nanti setelah tugas berpuasa atau bulan Ramadan selesai. Orang yang puasanya berhasil pertama-tama akan ditandai oleh perubahan perilaku dari yang semula tidak baik menjadi baik dan dari yang semula baik menjadi lebih baik. Mereka yang kembali ke fitrah dengan jatining nur dan laku sing papat adalah mereka yang tawadhu', jauh dari kesombongan, dan tidak mau bersikap sewenang-wenang atau melanggar hak-hak orang lain dengan tindakan korupsi, baik korupsi materi maupun korupsi perilaku. Dengan kata lain, dalam hubungan-hubungan horizontal, mereka yang puasanya maqbul tentu akan bersikap disiplin untuk menghargai hak-hak orang lain, hak-hak masyarakat, dan hak-hak negara sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku. Mereka tidak akan mau merampas hak-hak orang lain dengan selalu bermanuver dan berusaha membuat tafsir manipulatif atas ketentuan konstitusi dan hukum. Secara progresif, orang yang mencapai jatining nur dan laku sing papat adalah mereka yang mempunyai integritas, teguh pendirian, dan berani menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Mereka pun berani membela hak dirinya dan hak orang lain dari ancaman yang akan merampasnya secara batil. Jadi, jatining nur dan laku sing papat itu dapat menimbulkan kelembutan dan kesejukan dalam menghargai orang lain dan segala haknya, tetapi sekaligus dapat menampilkan ketegasan dan keberanian dalam menghadapi kesewenang-wenangan atau ancaman atas hak diri maupun hak orang lain. Orang yang mendapat jatining nur dan laku sing papat adalah orang lembut dan santun terhadap manusia-manusia lain, tetapi sekaligus tegas dan berani melawan ketidakadilan.
Masing-masing diri kitalah yang dapat menentukan apakah akan menjadikan Ramadan dan ibadah puasa sebagai kendaraan untuk meraih jatining nur dan laku sing papat ataukah hanya menjadikannya sebagai keisengan dan basa-basi agar tercitrakan sebagai orang yang saleh meskipun sejatinya hanya "seolah-olah" atau "berpura-pura" saleh.
*) Moh. Mahfud M.D., Ketua Mahkamah Konstitusi