Sabtu, 19 Desember 2009

Segeralah Hijrah dari Perilaku Jahiliah


SEPERTI diketahui, penanggalan Islam bermula dari ide Amirulmukminin Umar Ibn Khatthab ra ( ± 586-644 M). Ide itu muncul setelah sahabat Umar mendapat surat dari Abu Musa 'Asy'ari ra. Gubernur Kufah tersebut menyatakan bahwa dia telah menerima beberapa surat yang tidak bertanggal. Amirulmukminin pun, seperti kebiasaannya, mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat, misalnya, Sayyidina Utsman Ibn 'Affan, Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, dan lain-lain untuk diajak bermusyawarah mengenai idenya tentang penanggalan Islam itu.

Dalam musyawarah muncul bermacam-macam pendapat mengenai hari bersejarah apa yang akan dijadikan patokan bagi penanggalan Islam. Ada yang berpendapat, sebaiknya tarikh Islam dimulai dari tahun lahirnya Nabi Muhammad SAW; ada yang sebaliknya, mengusulkan dimulai dari wafatnya; ada yang berpendapat sebaiknya dimulai dari saat Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul; ada yang berpendapat sebaiknya dimulai dari saat Rasulullah SAW di-israk- mi'rajkan; dan ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari tahun hijriyahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.


Akhirnya, usul terakhir itulah yang menjadi keputusan. Dibanding tonggak-tonggak sejarah dalam Islam yang lain, hijrah ke Madinah memang merupakan yang paling bermakna. Hijrah merupakan tonggak pemisah antara kondisi jahiliah di Makkah dan kondisi peradaban Islam di Madinah. Tonggak pemisah antara kekufuran dan iman; kemusyrikan dan ketauhidan. Atau, menurut istilah Sayyidina Umar ra, merupakan pemisah antara yang haq dan yang batil.

Semangat hijrah dari satu kondisi ke kondisi yang lain; terutama dari yang buruk ke yang baik, diharapkan terus menyala di dada umat Muhammad SAW. Karena setiap tahun baru, mereka diingatkan kembali kepada peristiwa bersejarah yang penuh makna itu. Bukan hanya perpindahan fisik dari Makkah ke Madinah; meskipun ini saja sudah memerlukan pengorbanan yang besar. Diharapkan lebih dari itu; orang akan teringat betapa kebodohan dan keangkuhan jahiliah ditinggalkan oleh muslim-muslim teladan di bawah pimpinan sang pemimpin teladan, Nabi Muhammad SAW, menuju peradaban dan keluhuran akhlak.

Perselisihan digantikan persatuan. Permusuhan digantikan persaudaraan. Kesombongan digantikan oleh kerendahan hati. Fanatisme buta digantikan tawassuth wal I'tidaal. Merasa pintar dan benar sendiri digantikan oleh ketawadukan dan kesediaan menghargai pihak lain.

Bila hijrah secara fisik sudah tidak ada, kita masih bisa mengambil hikmah dari maknanya yang agung itu. Pada tahun baru hijriah ini, kita misalnya, bisa kembali menghadirkan tokoh-tokoh Muhajirin dan Ansor yang begitu mulia budi pekertinya. Mereka tak henti-hentinya menebar kasih sayang ke mana-mana, terutama dengan amar-makruf-nahi-munkar. Mereka tidak saling membenci dan saling menghina. Mereka yang memiliki kelebihan justru bersikap tawaduk kepada sesama. Yang memiliki kelebihan ilmu, misalnya, tidak menjadi pongah dan merendahkan orang lain.

Yang memiliki harta tidak menjadi congkak dan bakhil terhadap sesama. Semua meniru belaka pemimpin agung mereka, Nabi Muhammad SAW, nabi kasih sayang yang memiliki kelebihan tak ada bandingannya, namun selalu bersikap tawaduk dan rendah hati.

Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk melakukan hijrah dari kondisi jahiliah yang tengik menuju kondisi peradaban yang beradab. Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk menundukkan ego kita sendiri yang degil dan melawan setan yang terkutuk, serta memudahkan kita mendapatkan keridhaan-Nya. Amin.

Selamat Tahun Baru! Selamat 'Berhijrah'!

***

Betul, di atas itu adalah tulisan saya pada tahun baru yang lalu. Bagi yang tidak membaca tulisan saya pada tahun baru yang lalu, tulisan itu mungkin dianggap tulisan baru. Satu dan lain hal karena semangat hijrah yang diharapkan tulisan itu seolah-olah sesuatu yang baru saya sampaikan. Kalau tidak, kondisi kita tentu sudah berubah atau paling tidak agak berubah. Bahkan, doa di akhir tulisan itu seperti tak ada pengaruhnya.

Kondisi jahiliah yang tengik masih belum ada tanda-tanda beranjak dari negeri ini. Kehidupan politik masih belum ada tanda-tanda menuju ke budaya politik yang beretika. Kehidupan sosial kemasyarakatan masih belum mencerminkan adanya peradaban. Apalagi bila kita melihat nasib hukum. Masya Allah.

Apabila para politisi tidak segera hijrah dari perilaku jahiliah yang hanya mementingkan diri dan kelompok sendiri ke perilaku tamaddun yang santun dan memikirkan kepentingan negara dan bangsa, kita khawatir negara dan bangsa ini akan semakin terpuruk.

Apabila anggota masyarakat tidak segera hijrah dari perilaku jahiliah yang hanya mementingkan materi duniawi ke perilaku tamaddun yang menyeimbangkan perhatian terhadap jasmani dan rohani, kita khawatir masyarakat kita akan semakin menderita.

Apabila para penegak hukum tidak segera hijrah dari perilaku jahiliah yang melecehkan hukum dan rasa keadilan ke perilaku tamaddun yang menjunjung tinggi hukum dan rasa keadilan, kita khawatir bencana akan menimpa kita.

Na'udzubillahi min dzalik. Kita mohon perlindungan Allah..

Sekali lagi, Selamat Tahun Baru! Selamat 'Berhijrah'

Oleh: A. Mustofa Bisri