Selasa, 23 Februari 2010

Nikah kok Diam-Diam


BEBERAPA tahun silam, saya pernah ditawari nikah lagi oleh seorang teman aktivis sebuah gerakan keagamaan di luar arus utama (nonmainstream). Kata teman itu, dalam jamaah pengajian yang dia ikuti, ada seorang wanita yang berstatus janda karena ditinggal ''mati syahid" suaminya. Rupanya, suami janda tersebut meninggal setelah menjadi sukarelawan di daerah konflik antarumat beragama.

Atas tawaran yang tak terduga itu, saya menjawab secara halus, saya akan berkonsultasi dan minta izin kepada istri saya. Lalu, apa jawab dia? Dia berusaha meyakinkan saya bahwa dalam syariat Islam tidak dikenal adanya mekanisme perizinan dari istri pertama.

Saya sebenarnya telah belajar Islam sejak usia dini, termasuk apa yang disebut dengan fiqh munakahat (fikih pernikahan). Salah satu topik yang paling mengundang perbincangan adalah masalah nikah lebih dari satu istri (poligami). Sampai sekarang, saya tetap berpendirian, poligami merupakan modus pernikahan yang diperbolehkan dalam Islam. Tapi, praktik poligami tidak semudah membalik telapak tangan.

Bagi saya, izin istri pertama merupakan salah satu syarat terpenuhinya prinsip keadilan. Jadi, poligami tidak boleh dilakukan secara diam-diam (nikah siri).
Pengalaman beberapa tahun silam itu telah memberikan pengetahuan penting bahwa penggunaan mekanisme nikah siri, antara lain, disebabkan suami mau poligami, namun istri pertama tidak mengizinkan. Di luar alasan tersebut, masih banyak alasan lain. Mungkin ada seratus satu macam alasan. Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa nikah kok harus diam-diam?

***


Dalam pandangan Islam, praktik nikah memerlukan ''publisitas". Artinya, pernikahan perlu diketahui kalangan luar, bukan hanya kedua mempelai beserta keluarganya. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pun menganjurkan agar melakukan walimah (perayaan) kendati dalam format acara yang bersahaja.

Mengapa nikah memerlukan ''publisitas"? Secara sosiologis, dengan melibatkan publik, ikatan pernikahan akan bertambah kuat karena ikrar nikah disaksikan banyak orang.

Kedua, keterlibatan publik dalam pernikahan bisa memberikan proteksi kepada kalangan luar agar tidak mudah merajut fitnah terhadap legalitas pernikahan. Di sinilah kita menemukan keunikan praktik pernikahan yang juga bernilai ibadah. Jika ibadah lainnya, terutama yang berada pada ranah ritual, dianjurkan menjaga kerahasiaan, nikah oleh Nabi Muhammad SAW malah dianjurkan untuk melakukan walimah dengan maksud, antara lain, melindungi orang lain dari melakukan pergunjingan.

Ketiga, nikah yang dilakukan secara normal -tidak dengan cara diam-diam (siri)- akan memberikan banyak keuntungan berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia warga negara Indonesia. Disebut nikah siri biasanya karena tidak dicatatkan secara administratif ke Kantor Urusan Agama (KUA). Jika tidak ada catatan dari KUA yang berupa buku nikah, akan menyulitkan pengurusan akta kelahiran anak yang dilahirkannya. Begitulah seterusnya, pelaku nikah siri akan menghadapi banyak kesulitan administratif.

Di luar pernik-pernik administrasi, banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang justru menimpa pelaku nikah siri, terutama pihak wanita. Selain alasan poligami yang tidak mendapatkan izin istri pertama, nikah siri digunakan untuk memuluskan nikah bermodus transaksional yang lazim disebut dengan nikah kontrak.

Nikah kontrak adalah nikah yang diawali perjanjian -biasanya hanya diketahui pelaku nikah kontrak-lamanya usia pernikahan. Pada praktik nikah kontrak yang dilakukan melalui mekanisme nikah siri, selalu terjadi relasi yang tidak seimbang antara pihak laki-laki dan wanita. Dalam banyak kasus, wanita selalu menjadi sasaran eksploitasi. Pertanyaannya, adakah agama yang justru membenarkan praktik eksploitasi terhadap wanita kendati mengatasnamakan agama pula.

***

Alhasil, pencatatan nikah -kendati tidak menjamin terhapusnya praktik kekerasan dalam ikatan pernikahan-bisa memberikan perlindungan kepada siapa pun. Bila bersandar kepada argumen agama, pencatatan nikah dan menghindari nikah siri dapat memberikan kemaslahatan (manfaat) dan menghindari kemudaratan (kerugian). Karena memberikan manfaat secara nyata, sikap yang mempertentangkan antara logika agama dan logika negara seharusnya tidak perlu muncul ke permukaan.

Ada suatu ironi dalam silang pendapat terkait dengan rencana penerapan draf RUU Hukum Material Peradilan Agama, terutama karena adanya ketentuan pemberian hukuman pidana terhadap pelaku nikah siri (Jawa Pos, 18/02). Ada kalangan yang menolak draf itu bukan karena adanya ketentuan pidana, tapi justru pencatatan nikah dinilai bertentangan dengan syariat Islam. Seharusnya logika seperti ini tidak perlu muncul karena pencatatan nikah malah dapat menyempurnakan pelaksanaan syariat Islam. Lagi pula, apa susahnya mencatatkan pernikahan ke KUA.

Agama memang tidak mengatur hal-hal yang bersifat teknis-administratif. Tapi, dalam agama terdapat ketentuan agar menghindari perbuatan yang banyak mengandung kerugian (mudarat). Nikah siri terbukti banyak mendatangkan mudarat. Karena itu, apa susahnya mencatatkan nikah ke KUA. Gitu aja kok repot!

Bagaimana halnya dengan pemidanaan terhadap pelaku nikah siri? Pemidanaan tidak perlu dilakukan pemerintah. Persoalan administratif yang akan dihadapi pelaku nikah siri bisa berdampak setara dengan sanksi pidana. (*)

*). Prof Dr Syamsul Arifin MSi, guru besar dan wakil direktur Pascasarjana Unmuh Malang