Selasa, 07 September 2010

Antara Zakat, Infak, dan Konstruksi Iman


KATA ''zakat", yang secara umum berarti membersihkan atau menyucikan, dalam beragam derivasinya disebutkan di dalam Alquran tidak kurang dari 32 kali. Sebanyak 25 kali disitir setelah berangkai dengan kata "salat". Sementara itu, kata "infak" dengan segala pecahannya muncul tak kurang dari 61 kali, 9 di antaranya berbentuk kata perintah. Jadi, meski kata maal/harta disebutkan tak lebih dari 18 kali, jumlah mustahiq alias yang berhak menerima infak, seperti miskiin dan masaakiin, yatiim dan yataamaa, faqiir dan fuqaraa, serta al-qurbaa, anehnya, sama dengan jumlah kata infak.

Di luar pendampingan kata zakat dan infak dengan kata salat ternyata Allah menunjukkan kepada kita pentingnya desain korelasi antara konstruksi keimanan seseorang dan kegiatan memberi ini. Sangat banyak kegiatan ibadah dalam semua bentuknya, mahdhah maupun maknawiyah, yang selalu dirangkai dengan kata iman. Semua bentuk pengabdian manusia kepada Allah disebut ibadah. Nah, ibadah yang berupa amal saleh seseorang amat bergantung kepada keimanannya.

Di dalam Alquran, frasa "Hai orang-orang yang beriman dan beramal saleh" selalu muncul dalam banyak surat dan di berbagai ayat. Bahkan, berbagai hadis Rasululllah menguatkan hal itu. Misalnya, "Tidak beriman seseorang sehingga dia mencintai saudaranya...", "Tidak beriman kamu kalau tidur kenyang, sementara tetanggamu kelaparan", "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tamunya", serta beragam redaksi lain dalam hadis Rasulullah tentang iman yang bermanifestasi kepada amal saleh.

Beberapa tema penting dalam ajaran agama malah menjelaskan begitu besarnya frekuensi penggambaran bentuk keimanan yang selalu bermuara kepada amal saleh sosial dibandingkan amal saleh dalam ibadah bentuk ritual. Contoh paling aktual konstruksi iman yang berujung kepada ibadah sosial adalah puasa Ramadan yang berujung dengan kewajiban membayar zakat fitrah. Objeknya jelas, bukan semata orang kaya, tetapi semua kaum muslim yang punya kelebihan makanan untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya hingga malam hari raya, wajib baginya mengeluarkan zakat fitrah.

Islam ingin menyeimbangkan perasaan bahwa semua orang harus memiliki self of responsibility yang setara atas jaminan tegaknya tata laksana keseimbangan serta keberlangsungan hidup. Seseorang yang "langganan" menjadi mustahiq untuk zakat-zakat tertentu harus bersiap diri menjadi muzakki untuk persoalan zakat fitrah. Baginda Rasul hanya ingin agar pada hari nan fitri itu tidak ada seorang muslim pun yang tidak bisa meneriakkan takbir kemenangan setelah sebulan bermujahadah melawan hawa nafsu hanya karena tidak bisa makan.

Nah, zakat fitrah ini menjadi konstruksi paling sederhana tentang bagaimana kehidupan harus terus berlanjut meski dengan beragam warna. Bagi si kaya, menyantuni si miskin bukanlah sebuah pilihan, tetapi sebuah tanggung jawab ilahiyah atas jaminan kelangsungan di atas punggung bumi ini. Bukankah harta yang kebetulan menumpuk di tangan si kaya tak lebih dari sebatas titipan amanah Allah yang padanya terdapat hak si miskin? Pada harta itu terdapat dua tanggung jawab sekaligus; kepada Allah sebagai pemilik dan kepada sekelompok orang yang berhak menerimanya.

Atas dasar salah satu konstruksi iman-amal saleh tersebut, sejatinya, tidak layaklah bila ada seseorang yang merasa telah menjadi dermawan hanya karena telah mendistribusikan sebagian kekayaan yang berada dalam genggamannya kepada para mustahiq. Dia wajib mengeluarkan zakat karena Allah menempatkannya sebagai "orang kaya" sehingga kalau itu tidak dilakukan, dia akan terkena sanksi karena meninggalkan salah satu kewajiban dalam rukun Islam. Bahkan, sanksi sosial akan menghukum dan mengecam dia sebagai penindas dan perusak kesinambungan hidup karena mengabaikan kehidupan si papa nan tak berdaya.

Begitu pentingnya "menjamin" kehidupan selembar nyawa sehingga Allah menilai seseorang yang melakukan itu sama dengan menghidupkan umat manusia seluruhnya. Karena itu, begitu surat keempat dalam Alquran, An-Nisaa', diturunkan, permulaannya adalah penjelasan tentang pentingnya menjaga kesatuan dan kerukunan. Ia turun setelah hijrah sehingga konteksnya lebih dekat kepada ikhtiar penegakan tata laksana kehidupan masyarakat. Ini tentu saja berbeda dengan surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, serta Ali Imron yang cenderung menegaskan pentingnya penanaman akidah dan nilai-nilai yang bersifat pemantapan bangunan moral.

Allah ingin menegaskan, nilai kehidupan amatlah berharga bagi semua orang dari segala etnis, golongan, keyakinan, kepercayaan, serta label lainnya. Karena itu, jaminan atas kelangsungan hidup adalah menjadi tanggung jawab semua anak manusia. Kita, sebagai kaum beriman yang telah menerima Alquran sebagai kitab suci, menjadi objek nyata perintah tersebut. Karena itu pula, setelah menjelaskan keniscayaan hidup rukun, saling berbagi, tanggung jawab atas anak yatim sebagai kaum terlemah karena kehilangan tiang penyangga kehidupan dalam rumah tangga, Allah memperingatkan kita untuk menyiapkan generasi yang kuat secara sosial ekonomi.

Peringatan tersebut penting untuk disampaikan dan menjadi kian penting untuk diketahui serta dilaksanakan. Sebab, setelah periode pemantapan akidah sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, dan Ali Imron, pemantapan kehidupan sosial ekonomi dinilai memiliki kaitan amat signifikan dengan kukuhnya konstruksi keimanan umat. Kohesi sosial yang kuat serta distribusi kesejahteraan ekonomi yang merata akan menjadi landasan yang kuat bagi berdirinya konstruksi keimanan sebuah masyarakat manusia. Karena itu, Rasul sangat khawatir jika umatnya terjerat dalam kehidupan keras yang kerap berujung pada kekufuran tersebut.

Begitu pentingnya kegiatan berbagi sehingga kata zakat, infak, sedekah, hibah, dan wakaf akan selalu menjadi manifestasi aktualisasi konstruksi keimanan dan keislaman seseorang. Mukmin dan muslim tidak akan pernah paripurna sampai ia menjadi yang paling bermanfaat bagi manusia lain, sekurang-kurangnya untuk anggota keluarga, kerabat karib, dan generasi yang datang di belakangnya. Sejatinya, munculnya marginalitas dan banalitas dalam masyarakat merupakan akibat langsung tindakan pengabaian keluarga atas keluarga, masyarakat atas masyarakat, dan pemimpin terhadap yang dipimpin. Wallaahu a'lamu bishshowaab. [*]

H Saifullah Yusuf adalah wakil gubernur Jawa Timur/ketua PB NU