Pada 2002, Greg Barton, seorang profesor di Monash University menulis biografi tentang presiden Indonesia Abdurrahman Wahid berjudul Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat, Indonesian President: A View From The Inside.
Kekuatan biografi itu adalah kedekatan yang ditampilkan oleh Barton pada Gus Dur. Barton seolah hampir menjadi bagian dari anggota keluarga Gus Dur. Ia membahasakannya seolah mereka adalah ayah dan menantu.
"Bagi pria Australia generasi saya, saya berbicara ke ayah saya mengenai hal-hal yang tidak penting dulu baru menuju hal yang penting. Dengan Gus Dur, saya seolah punya alasan sempurna untuk berbicara pada dia tentang hal-hal yang penting," kata Barton di salah satu forum Ubud Writers & Readers Festival 2010, Jumat (8/10).
Salah satu penyesalannya adalah, kini Barton tengah mengerjakan tentang peran Islam di Indonesia sekarang. Ia tak sempat menanyakan secara spesifik hal-hal itu pada Gus Dur, salah satu sumber intelektual utama untuk pemikir Islam di Indonesia. Yahoo! Indonesia mewawancara Greg Barton tentang Gus Dur dan benarkah Islam di Indonesia menjadi semakin tidak toleran.
Y!: Ceritakan tentang buku yang sedang Anda kerjakan sekarang.
Greg Barton (GB): Judulnya Islam's Other Nation. Karena, ketika orang membicarakan negara Islam, maka Indonesia (dengan penduduknya yang mayoritas Islam) sering dilupakan.
Y!: Berbicara tentang sosok Gus Dur, kenapa Indonesia belum memiliki lagi sosok seperti dia?
GB: Ada beberapa cara untuk melihat persoalan ini. Satu, tokoh intelektual yang mengubah paradigma, mengubah berbagai hal dalam skala besar tidak 'dibuat' setiap hari. Selain itu, sosok dengan pengaruh besar, yang sepenting itu, kebanyakan adalah produk dari keadaan. Dalam hal Gus Dur, situasi keluargalah yang membuatnya seperti itu.
(Dalam forum yang memberi Barton kesempatan berbicara tentang menulis biografi Gus Dur, ia menyebut beragam kesukaan Gus Dur pada film Prancis, membaca Faulkner, dan kepercayaan religiusnyalah yang kemudian menjadi basis inklusivitas dan kehumanisan Gus Dur.)
Gus Dur baru menjadi tokoh utama saat ia bersama Ahmad Shiddiq menantang kepemimpinan NU pada 1984, bahkan itulah saat 'pembuatan' Gus Dur (menjadi sosok yang kita kenal), ketua yang eksentrik dari gerakan Islam terbesar di dunia. Di saat yang bersamaan, pada 1990an, ada kecenderungan mengarah pada pemerintahan yang lebih demokratis.
Y!: Dan yang kedua?
GB: Indonesia punya sistem pendidikan yang tidak biasa. Seperti Madrasah Aliyah dan pesantren. Biasanya, pesantren adalah tempat orangtua yang miskin mengirimkan anaknya untuk sekolah karena mereka tidak mampu membiayai sekolah biasa. Tapi kemudian ada kesempatan untuk mematrikulasikan pendidikan itu ke universitas.
Kita menganggap itu enteng. Tapi di Asia Selatan, banyak madrasah yang hanya mengajarkan kurikulum sempit tentang agama. Dan di banyak negara Islam, ada pemisahan antara ulama dan kaum intelektual. Sementara di Indonesia, IAIN yang kemudian berubah jadi UIN mengombinasikan mengajarkan pendidikan agama dengan pemikiran sosial yang kritis.
Bahkan UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat dan UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, ini dua universitas Islam terbaik di dunia, lebih baik dari (Universitas) Al-Azhar (Kairo) malah. Mungkin ini provokatif, tapi yang ingin saya tonjolkan adalah, saat di banyak belahan dunia pendidikan Islam menyempit, di Indonesia justru terjadi sintetik antara latar belakang madrasah dan pendidikan formal.
Pemikir Islam seperti Azyumardi Azra atau Komarudin Hidayat adalah hasil dari sistem pendidikan itu. Hanya saja mereka kurang memiliki kharisma seperti Gus Dur.
Y!: Apakah sosok itu ada di Ulil (Abshar Abdalla)?
GB: Dengan (Ulil) suka menulis di Tempo, itu kan yang juga kerap dilakukan oleh Gus Dur pada 1970an. Jika dia menjadi Ketua Umum NU, mungkin dia akan menjadi sosok yang mirip Gus Dur. Tapi apa yang ia lakukan sekarang dengan Jaringan Islam Liberal terlalu provokatif.
Y!: Pada karya VS Naipaul "Among the Believers", seolah digambarkan saat itu Indonesia baru mulai mengenal Islam. Sementara sekarang Islam tampaknya mulai merasuk ke kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Terlihat dari bagaimana ikon-ikon religius seperti jilbab, menjadi pilihan tampilan, dan juga masuk ke televisi nasional dan dikomersialisasi.
GB: Ya saya familiar dengan buku itu. Tapi dengan Naipaul, dia memang penulis yang sangat brilian, pengamat yang tajam, tapi dia bukan peneliti. Dia berasal dari West Indies (Karibia) dan tidak tahu apa-apa tentang Islam di Asia Selatan, di Indonesia. Jadi jangan terpersuasi dengan apa yang ia tulis. Beberapa ada yang benar, beberapa ada yang tidak benar.
Tentang ikon religius, sebenarnya ini sebuah peningkatan aktivitas di tingkat global. Bukan tiba-tiba Indonesia mengekspresikan Islam, tapi Islam mengekspresikan dirinya sendiri. Salah satu alasannya adalah ketidakadilan global pasca-(peristiwa)-11 September.
Dan itu adalah siklus agama, sama seperti sifat alami manusia, ada yang naik, ada yang turun. Dan jilbab juga tidak berarti mereka sepenuhnya menerima agama. Mungkin saja itu sebuah respon mode. Sama saja ketika kita melihat album foto dari pertengahan abad 20 dan melihat cara orang berpakaian, dengan jilbab, mungkin akan seperti itu.
Y!: Benarkah Islam di Indonesia semakin tidak toleran? Dengan kemunculan FPI dan aksi-aksinya yang terbuka, serta penyerangan jamaah Ahmadiyah?
GB: Ada dua hal di situ. Pertama adalah, itu gerakan minoritas. Apa yang mereka pelajari dari demokrasi adalah, jika mereka bergantung pada daya tarik, mereka kalah dari segi angka. Jadi mereka berjuang untuk memenangkan jumlah orang dengan gerakan-gerakan massal.
Dan yang kedua adalah aspek provokatif. Sama seperti gerakan Tea Party di Amerika Serikat, ini adalah upaya minoritas untuk membawa perubahan. Contohnya juga seperti pendeta Terry Jones yang berencana membakar Quran. Ini hanya satu gereja dengan 50 orang jemaat. Dengan menentukan tanggal dan jam pembakaran, tiba-tiba ada Menteri Pertahanan dan Gedung Putih menelepon mereka dan meminta, tolong jangan lakukan itu.
Dengan menjadi bully yang penuh kebencian mereka mendapat perhatian. Dan terhadap bully, yang harus kita lakukan adalah kita berani melawan pada mereka, dan tidak memberi penghargaan atas apa yang mereka lakukan.
Y!: Yang terjadi sekarang?
GB: Yang terjadi sekarang, tidak ada kepemimpinan yang berani melawan mereka. Presiden membuat kesalahan dengan mendengarkan MUI, yang bukan sebuah badan otoritas, tapi sebuah majelis dan yang sedang dibajak oleh sekelompok minoritas, tentang pembakaran masjid-masjid Ahmadiyah. Dan dia juga membuat kesalahan dengan tidak melakukan sebuah aksi tegas.
Mereka (kelompok minoritas) sedang mencoba memenangkan pengaruh dengan menjadi liar, menjajaki seberapa jauh yang bisa mereka lakukan dan bisa lolos dari konsekuensi. Yang paling tepat dilakukan adalah untuk menanggapi tantangan mereka. Bahwa mereka melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima, dan ini tidak bisa berlanjut.
Dan yang terpenting, gerakan-gerakan seperti ini tidak unik terjadi di Indonesia. Di Eropa, yang kini terjadi sebenarnya adalah gerakan anti-imigran, yang kemudian jadi mengarah pada xenophobia anti-Islam.
Kita bisa marah dan mengutuk politisi kita, tapi perubahan sebenarnya ada pada masyarakat madani. Yang terjadi di Amerika Serikat, perubahan hak-hak sipil itu terjadi di antara pemimpin hak sipil, baru kemudian politisi mengikutinya.
Isyana Artharini (Ubud)
Isyana Artharini, editor berita di Yahoo! Indonesia.
Email: isyana[at]yahoo-inc.com
Kekuatan biografi itu adalah kedekatan yang ditampilkan oleh Barton pada Gus Dur. Barton seolah hampir menjadi bagian dari anggota keluarga Gus Dur. Ia membahasakannya seolah mereka adalah ayah dan menantu.
"Bagi pria Australia generasi saya, saya berbicara ke ayah saya mengenai hal-hal yang tidak penting dulu baru menuju hal yang penting. Dengan Gus Dur, saya seolah punya alasan sempurna untuk berbicara pada dia tentang hal-hal yang penting," kata Barton di salah satu forum Ubud Writers & Readers Festival 2010, Jumat (8/10).
Salah satu penyesalannya adalah, kini Barton tengah mengerjakan tentang peran Islam di Indonesia sekarang. Ia tak sempat menanyakan secara spesifik hal-hal itu pada Gus Dur, salah satu sumber intelektual utama untuk pemikir Islam di Indonesia. Yahoo! Indonesia mewawancara Greg Barton tentang Gus Dur dan benarkah Islam di Indonesia menjadi semakin tidak toleran.
Y!: Ceritakan tentang buku yang sedang Anda kerjakan sekarang.
Greg Barton (GB): Judulnya Islam's Other Nation. Karena, ketika orang membicarakan negara Islam, maka Indonesia (dengan penduduknya yang mayoritas Islam) sering dilupakan.
Y!: Berbicara tentang sosok Gus Dur, kenapa Indonesia belum memiliki lagi sosok seperti dia?
GB: Ada beberapa cara untuk melihat persoalan ini. Satu, tokoh intelektual yang mengubah paradigma, mengubah berbagai hal dalam skala besar tidak 'dibuat' setiap hari. Selain itu, sosok dengan pengaruh besar, yang sepenting itu, kebanyakan adalah produk dari keadaan. Dalam hal Gus Dur, situasi keluargalah yang membuatnya seperti itu.
(Dalam forum yang memberi Barton kesempatan berbicara tentang menulis biografi Gus Dur, ia menyebut beragam kesukaan Gus Dur pada film Prancis, membaca Faulkner, dan kepercayaan religiusnyalah yang kemudian menjadi basis inklusivitas dan kehumanisan Gus Dur.)
Gus Dur baru menjadi tokoh utama saat ia bersama Ahmad Shiddiq menantang kepemimpinan NU pada 1984, bahkan itulah saat 'pembuatan' Gus Dur (menjadi sosok yang kita kenal), ketua yang eksentrik dari gerakan Islam terbesar di dunia. Di saat yang bersamaan, pada 1990an, ada kecenderungan mengarah pada pemerintahan yang lebih demokratis.
Y!: Dan yang kedua?
GB: Indonesia punya sistem pendidikan yang tidak biasa. Seperti Madrasah Aliyah dan pesantren. Biasanya, pesantren adalah tempat orangtua yang miskin mengirimkan anaknya untuk sekolah karena mereka tidak mampu membiayai sekolah biasa. Tapi kemudian ada kesempatan untuk mematrikulasikan pendidikan itu ke universitas.
Kita menganggap itu enteng. Tapi di Asia Selatan, banyak madrasah yang hanya mengajarkan kurikulum sempit tentang agama. Dan di banyak negara Islam, ada pemisahan antara ulama dan kaum intelektual. Sementara di Indonesia, IAIN yang kemudian berubah jadi UIN mengombinasikan mengajarkan pendidikan agama dengan pemikiran sosial yang kritis.
Bahkan UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat dan UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, ini dua universitas Islam terbaik di dunia, lebih baik dari (Universitas) Al-Azhar (Kairo) malah. Mungkin ini provokatif, tapi yang ingin saya tonjolkan adalah, saat di banyak belahan dunia pendidikan Islam menyempit, di Indonesia justru terjadi sintetik antara latar belakang madrasah dan pendidikan formal.
Pemikir Islam seperti Azyumardi Azra atau Komarudin Hidayat adalah hasil dari sistem pendidikan itu. Hanya saja mereka kurang memiliki kharisma seperti Gus Dur.
Y!: Apakah sosok itu ada di Ulil (Abshar Abdalla)?
GB: Dengan (Ulil) suka menulis di Tempo, itu kan yang juga kerap dilakukan oleh Gus Dur pada 1970an. Jika dia menjadi Ketua Umum NU, mungkin dia akan menjadi sosok yang mirip Gus Dur. Tapi apa yang ia lakukan sekarang dengan Jaringan Islam Liberal terlalu provokatif.
Y!: Pada karya VS Naipaul "Among the Believers", seolah digambarkan saat itu Indonesia baru mulai mengenal Islam. Sementara sekarang Islam tampaknya mulai merasuk ke kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Terlihat dari bagaimana ikon-ikon religius seperti jilbab, menjadi pilihan tampilan, dan juga masuk ke televisi nasional dan dikomersialisasi.
GB: Ya saya familiar dengan buku itu. Tapi dengan Naipaul, dia memang penulis yang sangat brilian, pengamat yang tajam, tapi dia bukan peneliti. Dia berasal dari West Indies (Karibia) dan tidak tahu apa-apa tentang Islam di Asia Selatan, di Indonesia. Jadi jangan terpersuasi dengan apa yang ia tulis. Beberapa ada yang benar, beberapa ada yang tidak benar.
Tentang ikon religius, sebenarnya ini sebuah peningkatan aktivitas di tingkat global. Bukan tiba-tiba Indonesia mengekspresikan Islam, tapi Islam mengekspresikan dirinya sendiri. Salah satu alasannya adalah ketidakadilan global pasca-(peristiwa)-11 September.
Dan itu adalah siklus agama, sama seperti sifat alami manusia, ada yang naik, ada yang turun. Dan jilbab juga tidak berarti mereka sepenuhnya menerima agama. Mungkin saja itu sebuah respon mode. Sama saja ketika kita melihat album foto dari pertengahan abad 20 dan melihat cara orang berpakaian, dengan jilbab, mungkin akan seperti itu.
Y!: Benarkah Islam di Indonesia semakin tidak toleran? Dengan kemunculan FPI dan aksi-aksinya yang terbuka, serta penyerangan jamaah Ahmadiyah?
GB: Ada dua hal di situ. Pertama adalah, itu gerakan minoritas. Apa yang mereka pelajari dari demokrasi adalah, jika mereka bergantung pada daya tarik, mereka kalah dari segi angka. Jadi mereka berjuang untuk memenangkan jumlah orang dengan gerakan-gerakan massal.
Dan yang kedua adalah aspek provokatif. Sama seperti gerakan Tea Party di Amerika Serikat, ini adalah upaya minoritas untuk membawa perubahan. Contohnya juga seperti pendeta Terry Jones yang berencana membakar Quran. Ini hanya satu gereja dengan 50 orang jemaat. Dengan menentukan tanggal dan jam pembakaran, tiba-tiba ada Menteri Pertahanan dan Gedung Putih menelepon mereka dan meminta, tolong jangan lakukan itu.
Dengan menjadi bully yang penuh kebencian mereka mendapat perhatian. Dan terhadap bully, yang harus kita lakukan adalah kita berani melawan pada mereka, dan tidak memberi penghargaan atas apa yang mereka lakukan.
Y!: Yang terjadi sekarang?
GB: Yang terjadi sekarang, tidak ada kepemimpinan yang berani melawan mereka. Presiden membuat kesalahan dengan mendengarkan MUI, yang bukan sebuah badan otoritas, tapi sebuah majelis dan yang sedang dibajak oleh sekelompok minoritas, tentang pembakaran masjid-masjid Ahmadiyah. Dan dia juga membuat kesalahan dengan tidak melakukan sebuah aksi tegas.
Mereka (kelompok minoritas) sedang mencoba memenangkan pengaruh dengan menjadi liar, menjajaki seberapa jauh yang bisa mereka lakukan dan bisa lolos dari konsekuensi. Yang paling tepat dilakukan adalah untuk menanggapi tantangan mereka. Bahwa mereka melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima, dan ini tidak bisa berlanjut.
Dan yang terpenting, gerakan-gerakan seperti ini tidak unik terjadi di Indonesia. Di Eropa, yang kini terjadi sebenarnya adalah gerakan anti-imigran, yang kemudian jadi mengarah pada xenophobia anti-Islam.
Kita bisa marah dan mengutuk politisi kita, tapi perubahan sebenarnya ada pada masyarakat madani. Yang terjadi di Amerika Serikat, perubahan hak-hak sipil itu terjadi di antara pemimpin hak sipil, baru kemudian politisi mengikutinya.
Isyana Artharini (Ubud)
Isyana Artharini, editor berita di Yahoo! Indonesia.
Email: isyana[at]yahoo-inc.com