Rabu, 04 Mei 2011

Nikah dalam Keadaaan Hamil, Sahkah?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sungguh, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan Bapak untuk menjawab pertanyaan saya beberapa waktu yang lalu. Sekarang, ada satu persoalan yang membuat saya bingung: Saat ini, barangkali sudah tidak begitu asing dengan adanya perempuan yang hamil di luar nikah (meski jelas ini adalah perbuatan zina). Dan sebagai tindak lanjut dari keadaan yang sudah terlanjur tersebut orang biasanya melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa yang semacam ini adalah termasuk pembunuhan) atau melakukan pernikahan.
Pertanyaan saya, apakah pernikahannya ini sah? sebab, ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita. Bagaimana ini Bapak? sebab, kasus ini memang terjadi di tetangga saya, dan sebagian orang yang percaya terhadap ungkapan ustadz tersebut (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW) menganggap bahwa pernikahan tetangga saya tersebut tidak sah. katanya, ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi. Atas jawabannya (bagaimana dengan pada zaman Nabi SAW) dihaturkan banyak terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Harianto Widodo

Jawaban:
Assalamualaikum Wr.Wb,
Saudara Harianto yang baik,
Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.

Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
1. Seorang wanita hamil di laur nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.

Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya, ada dua pendapat yaitu :

Pertama, harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Kedua, siapapun pria yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram.
Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis.

Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:"Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal."Sahabat yang mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).
Demikian penjelasan saya, semoga Allah menjauhkan kita dan saudara-saudara kita dari perbuatan dosa, Amien.
Wassalamulaikum

Ustadzah Kuni Khairunnisa, Lc