Sabtu, 11 Juni 2011

Hijrah Nabi SAW dan Negara Islam Madinah

Setiap tahun umat Islam merayakan tahun baru hijriyah. Dan biasanya yang lebih sering difokuskan adalah peristiwa hijrah Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah.

Lucunya, dulu di komplek tempat saya tinggal, di hari itu ada acara ramai-ramai jalan kaki keliling komplek lengkap dengan busana muslim. Waktu saya tanya, ini olah raga atau apa? Mereka menjawab, Oh ini refleksi hijrah Nabi, pak Ustadz. Maksudnya biar kita ingat bagaimana capeknya Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah.


Saya pun manggut-manggut sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Bukan karena mengerti, justru karena tidak merasa nyambung. Ada ada aja, hijrah Nabi yang diingat kok capeknya, begitu saya bertanya dalam hati sambil mikir.


Di tempat lain, tahun baru hijriyah diperingati sebagai hari keramat, satu Suro. Malamnya dikenal dengan sebutan malam satu suro. Ada banyak ritual yang dilakukan orang Jawa yang memang rada singkretik, entah dengan tapa dan semedi, atau bersma-sama melarung seseji ke laut selatan, hingga pagelaran wayang kulit semalam suntuk.


Orang-orang kampung betawi umumnya menjadikan momentum pergantian tahun baru dengan memuliakan anak yatim. Sebenarnya momen ini lebih kepada perayaan 10 Muharram. Banyak masjid dan majelis taklim di hari ini memberi beragam hadiah buat anak yatim, sehingga 10 Muharram lebih sering disebut sebagai lebaran anak yatim.


Tahun Berdirinya Negara Islam


Peristiwa hjrah Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah akhirnya dipilih sebagai momentum yang dijadikan dasar tahun perhitungan kalender Islam. Padahal sebelumnya, sudah ada banyak usulan terkait dengan momentum lain yang tidak kalah penting.

Ada momentum kelahiran Nabi, ada momentum awal mula turunnya wahyu pertama kali di atas Jabal Nur dalam gua Hira, ada momentum Isra` Mi`raj, ada momentum Perang Badar, Perjanjian Hidaibiyah, Fathu Mekkah bahkan haji Wada`.


Tetapi kenapa momentum hijrah Nabi SAW yang dipilih, tentu ada alasan yang kuat, sehingga seluruh shahabat Nabi SAW setuju dan mencapai ijma` dalam penetapannya.


Alasannya adalah peristiwa hijrah itulah yang menjadi titik awal mula berdirinya institusi negara Islam pertama di muka bumi. Rupanya 13 tahun berdakwah di Mekkah, Rasulullah SAW dan para shahabat tetap masih belum merdeka, tidak punya kekuatan hukum yang secara formal melindungi dan mengayomi.


Ketika beliau SAW tiba di Madinah, institusi negara Islam pun resmi berdiri. Tiga syarat berdirinya sebuah negara memang sudah terpenuhi. Dua syarat pertama, yaitu rakyat dan wilayah sudah ada. Tinggal menunggu syarat ketiga, yaitu pemerintahan yang sah. Dan tibanya Rasulullah SAW di Madinah melengkapi syarat terakhir itu.


1. Unsur Pertama : Adanya Rakyat


Unsur pertama dari syarat berdirinya sebuah negara Islam sudah disiapkan sebelumya. Penduduk Madinah sudah bertahun-tahun sebelumnya disiapkan menjadi unsur terbentuknya negara.


Sejak beberapa tahun sebelumnya, kepala-kepala kabilah dari Aus dan Khazraj di Madinah yang dominan telah berbai`at setia kepada Rasulullah SAW. Peristiwa bai`at sumpah setia itu bahkan sempat terjadi dua kali, yaitu Baiat Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua.


Setelah itu, Rasulullah SAW mengutus Mus`ab bin Umair untuk menjadi duta pengajar ilmu Agama di Madinah. Mereka yang telah masuk Islam tidak lantas hanya menjadi muallaf yang awam abadi dalam hal agama. Sebaliknya, setiap saat mereka ikut perkuliahan yang terus menerus digelar di Madinah. Dan Mush`ab bin Umair menjadi guru besarnya.


Semua rakyat menjadi mahasiswanya. Tiap hari pagi siang sore dan malam, mereka belajar agama Islam langsung dari orang yang secara resmi oleh Rasulullah SAW ditunjuk menjadi dosen Agama Islam.


Semua itu adalah proses untuk melahirkan rakyat yang melek hukum Islam, sebab nantinya mereka akan membentuk negara Islam.


Apalah arti sebuah negara Islam yang diproklamasikan secara de Jure, kalau rakyatnya buta, awam, bodoh, jahil, dan tidak tahu merah hijau ilmu-ilmu syariah. Negara Islam yang dibentuk pada akhirnya hanya akan menjadi bumerang, bila rakyatnya tidak pernah dipersiapkan untuk bisa hidup sesuai aturan syariah.


Berbagai upaya mendirikan negara Islam di abad 20-21 ini selalu mengalami kegagalan berulang, baik di timur tengah maupun di negeri lainnya. Baik pendirian negara Islam itu lewat jalur dalam (inside) maupun lewat jalur luar (outside), keduanya selalu mengalami kegagalan besar tapi sayangnya selalu terulang.


Seolah tidak ada yang sadar bahwa salah satu faktor kegagalannya adalah tidak adanya rakyat yang telah dipersiapkan untuk hidup di dalam sebuah negara Islam, dengan segala aturan dan ketentuan.


Sebenarnya disitulah letak perbedaan utama proses pendirian negara Islam di masa Rasulullah SAW dengan di masa sekarang. Ada teman baik saya yang tiap hari sibuk berkampanye tentang pendirian khilafah Islamiyah. Saya kagum dan suka sekali dengan usahanya yang tidak pernah menyerah itu. Sangat energik dan tidak pernah merasa lelah.


Hanya sayang, di balik penghargaan saya kepadanya dan teman-temannya, dia dan teman-temannya yang aktifis itu tidak pernah menyiapkan calon rakyatnya hingga melek syariah. Jangankan rakyatnya, lha wong teman saya itu sendiri justru tidak pernah belajar ilmu syariah. Membaca tulisan Arab saja tidak bisa, apalagi mengatur kriteria pembagian harta zakat, bagaimana membagi harta warisan, hibah, dan bagaimana menjadi dewan hisbah.


Ketika saya bilang, nanti di dalam negara (khilafah) yang kalian impikan itu, semua perangkat itu harus ada, mereka bengong sambil balik bertanya, Emangnya semua itu mesti dibuat juga? Bukannya sekali kita proklamirkan khilafah, otomatis semua akan berjalan normal seperti di zaman Nabi?


Nah lho, saya yang bingung sendiri. Siapa yang mengajarkan anak-anak muda ini cekok tidak jelas, bisa-bisa nanti malah salah obat.


Tetapi lepas dari urusan di atas, peristiwa hijrah Nabi SAW mengingatkan kita pada berdirinya negara Islam, dimana sebelumnya Rasulullah SAW ternyata telah mempesiapkanya dengan sangat teliti. Mush`ab bin Umair telah dikirim sejak awal agar rakyat melek syariah, siap untuk menjadi warga negara yang baik.


Jangan sampai negara berdiri, tapi rakyatnya malah tidak siap. Alih-alih menegakkan syariah, yang terjadi justru polisi syariat melakukan zina, seperti di Aceh Nagroe Darussalam.


Jangan seperti sopir Jakarta yang terkenal ugal-ugalan masuk ke Singapore. Mereka sudah terbiasa nyodok seenaknya, berhenti seenaknya, parkir seenak, dan menerobos lampu merah seenaknya juga. Lalu tiba-tiba masuk ke dalam peradaban yang puya aturan lalu lintas yang ketat. Urusannya bisa tiap hari didenda ratusan dolar.


2. Unsur Kedua : Adanya Wilayah


Syarat kedua dari pendirian negara Islam adalah adanya suatu wilayah yang menjadi tempat dimana negara itu didirikan. Tentu keberadaan wilayah ini menjadi faktor dominan, dimana kalau wilayahnya tidak ada, maka negaranya pun tidak ada.


Lucunya, beberapa kelompok sempalan yang mengaku sebagai penerus dari NII Kartosuwiryo tetap mengkalim bahwa mereka masih punya wilayah negara. Wilayahnya adalah wilayah NKRI. Padahal di NKRI ada pemerintah yang berkuasa, berdaulat, dan secara sah diakui dunia international.


Dan menjadi menarik, karena sempalan ini jumlahnya cukup banyak, sehingga dalam satu wilayah bisa ada beberapa negara sekaligus. Tentu negara imajiner yang hanya ada dalam benak mereka saja.


Saya jadi ingat kasus penipuan sertifikat tanah bodong di daerah Ciganjur Selatan Jakarta. Konon kalau mau beli tanah di daerah itu harus hati-hati. Sebab kalau tidak teliti, bisa-bisa tanah kita diakui orang lain yang juga punya sertifikat tanah yang juga asli.


Padahal di tangan kita ada sertifikat tanah yang asli juga. Dan jangan kaget kalau ternyata waktu kita beli tanah itu, sudah ada orang yang sebelumnya menjadi pemilik tanah dengan sertifikat yang asli juga.


Tetangga saya beli tanah di sekitar daerah itu. Lama tidak menengok tanahnya, suatu ketika ketika kebetulan lewat, dia kaget. Lho kok di atas tanahnya sekarang berdiri sebuah rumah kos-kosan. Rupanya tanahnya itu sudah dijual orang, yang beli sudah menjualnya lagi. Dan pembelinya yang ketika telah menjualnya lagi kepada yang sekarang membangun rumah. Waduh, ancur lah sudah.


Berbagai gerakan Islam di dunia ini yang sibuk ingin mendirikan negara Islam tersendiri agak kerepotan ketika harus memiliki wilayah tersendiri untuk membangun negara Islam yang mereka cita-citakan. Boleh dibilang sudah tidak ada lagi tanah kosong untuk bikin negara. Yang ada, tanah yang sudah ada pemiliknya.


Berbeda dengan kisah Rasulullah SAW. Beliau SAW tidak perlu repot-repot mencari wilayah, karena penduduk Madinah yang telah masuk Islam, secara aklamasi sepakat untuk mendirikan negara Islam di negeri mereka.


Bahkan tidak butuh pemilu atau pengesahan dari wakil rakyat. Semua kepala kabilah telah sepakat dan berjanji setia (baca : bai`at) kepada Rasulullah SAW. Dan harga matinya adalah harus beliau SAW yang menjadi kepala negara.


3. Unsur Ketiga : Adanya Pemerintahan


Unsur yang ketiga dalam syarat pendirian negara Islam adalah pemerintahan. Dalam kasus Madinah, setelah kedua syarat terpenuhi, yaitu adanya rakyat dan wilayah, maka tinggal menunggu syarat yang ketika yaitu kepala pemerintahan, yang telah mereka sepakati sebelumnya adalah Rasulullah SAW.


Maka setiba beliau SAW di tanah Madinah, sontak rakyat menyambut gembira. Hari itu juga negara Islam pertama dinyatakan berdiri. Dan sebagai tonggak hukumnya, di atas kertas ditulislah piagam Madinah. Secara fisik, ditandai dengan didirikannya masjid Nabawi yang menjadi pusat pemerintahan.


Sedangkan secara psikologis dan ekonomis, Rasulullah SAW mempersaudarakan muhajirin dan anshar. Mereka berbagai dalam semua hal, termasuk masalah rumah, pakaian, makanan, sumber ekonomi, bahkan dalam masalah pembentukan keluarga baru.


Tidak sedikit dari orang kaya Madinah yang menyerahkan begitu saja rumahnya kepada saudaranya. Bahkan ada yang punya dua istri, dipersilahkan untuk dinikahi, setelah sebelumnya diceraikan dan selesai masa iddahnya.


Integrasi kedua unsur bangsa Arab Mekkah Madinah itu berlangsung amat fantastis, karena dibalut dengan semangat ukhuwah islamiyah yang kental. Artinya, rakyat Madinah memang sudah siap karena dipersiapkan sejak awal.


Madinah : Negara Super Power Yang Humanis


Umumnya negara adidaya mudah menjadi penindas negeri lain. Semua kisah duka penjajahan di atas lembar sejarah umat manusia, hanya bercerita tentang darah yang tumpah sia-sia, nyawa manusia yang tak lagi berharga, serta kehormatan wanita sampai perampasan harta benda yang nista.


Negara Islam Madinah adalah sebuah negara super power yang tumbuh dari rakyat kecil. Ketika sudah besar, tetap saja masih mengurusi rakyat kecil. Yang super power bukan ego dan arogansinya, tetapi yang super power justru kekuatan hati pemimpinnya dan keteguhan hati rakyatnya. Yang super power adalah kepercayaan mereka bahwa Allah SWT akan melindungi orang yang melindungi mereka yang lemah. Bahwa Allah akan menolong orang yang menolong sesamanya. Bahwa Allah akan mengasihi orang yang mengasihi sesamanya.


Negara Islam Madinah memang didesain dengan amat teliti, cermat, cerdas dan profesional. Segala kemungkinan telah diantisipasi sebelumnya. Sehingga meski baru setahun berdiri, sudah mampu melakukan peperangan yang pastinya akan menghabiskan banyak resources.


Tetapi kondisi negara tetap sehat, bahkan semakin kuat. Negara tidak bergantung kepada bantuan luar negeri, tidak dijerat hutang kanan kiri. Bahkan tidak ada tenaga kerja yang menganggur hingga harus rela disiksa majikan di negeri jiran.


Padahal hampir tiap tahun negara menyelenggarakan perang besar. Perang Badar digelar tahun kedua, perang Uhud terjadi di tahun ketiga. Di tahun kelima, Madinah sempat dikepung 10.000 pasukan multinasional dalam perang Khandaq. Lalu ada perang Bani Quraidhah dan beberapa perang lagi, hingga masuk ke tahun ke enam, perang dengan sesama Arab usai dengan diadakannya perjanjian Hudaibiyah.


Madinah malah mulai ekspansi dakwah ke seluruh Jazirah Arab. Hingga dua tahun kemudian, negara menjadi sangat makmur, sehat ekonomi dan wilayahnya mengalami pemekaran berpuluh kali lipat. Tidak sampai dua tahun kemudian sejak perjanjian Hudaibiyah, giliran Negara Madinah yang mengepung kota Mekkah. Dan Mekkah menyerah tanpa syarat setelah dikepung dari empat penjuru mata angin di tahun ke delapan sejak Madinah berdiri.


Ketika dua tahun kemudian Rasulullah SAW datang ke Mekkah lagi untuk berhaji, jumlah shahabat yang hadir tercatat tidak kurang dari 124.000 orang. Beberapa waktu kemudian, beliau SAW pun dipanggil ke hadirat ilahi.


Namun Negara Islam Madinah yang wilayahnya sudah seluas Jazirah Arabia bukannya mundur, sebaliknya malah semakin kuat, meski ada gerakan pembangkangan segelintir kelompok yang tidak mau bayar zakat, atau ada satu dua orang mengaku menjadi nabi. Semua berhasil diselesaikan dengan baik oleh Khalifah pengganti, Abu Bakar Ash-shiddiq radhiyallahuanhu.


Ketika negara Islam Madinah ini diperintah oleh Umar bin Al-Khattab dua tahun sepeninggal Rasulullah SAW, tiga imperium besar bertekuk lutut, Romawi, Mesir dan Persia.


Maka pantaslah kalau peristiwa hijrah Nabi SAW diperingati setiap tahun, bukan dengan semedi, wayangan, atau tirakat. Tetapi dengan membuka lembar sejarah gemilang umat Islam yang sejak peristiwa itu punya sebuah negara Islam pertama di muka bumi.


Sebuah negara yang jauh dari kesan sadis dan kejam sebagaimana sering dituduhkan oleh para orientalis kafir. Justru yang ada adalah bentuk pengejawantahan dari ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.


Berabad-abad kemudian, negara Islam Madinah itu melahirkan bentangan wilayah Islam yang luas, dari ujung barat Maroko hingga ujung timur Maroke. Di dalamnya, ada peradaban yang amat maju, manusiawi, dengan ilmu pengetahuan yang dijunjung tinggi, serta nilai-nilai kemanusiaan yang amat diharga. Bahkan mengurung kucing dalam kandang tanpa makan pun dianggap sebuah dosa besar.


Di dalamnya ada ribuan orang yahudi, nasrani, majusi, dan semua pemeluk agama apa saja yang hidup dalam kenikmatan dan uluran bantuan dari pemerintah Islam, karena keamanan jiwa, harta, keluarga serta ibadah agama mereka dijamin 100 persen aman oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Di dalam negara itu, bahkan membunuh kafir dzimmi lebih berat ancaman hukumannya dari pada membunuh sesama pemeluk Islam.


Sayangnya, banyak umat Islam yang buta sejarah dan tidak tahu betapa agamanya sangat indah. Duh, umat Islam.

(harus bersambung ...)