ILMU KEDOKTERAN PREVENTIF
Muhammad Kamil Abdushshamad
Dari : Mukjizat Ilmiah Dalam Al-Qur'an
Kebersihan
Allah berfirman,
"Dari pakaianmu bersihkanlah." (al-Muddatstsir: 4)
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. Sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka
mandilah. Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air atau menyentuh wanita, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi
Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur" (al-Maa'idah: 6)
Jika kita cermati ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur'an, segera
dapat disimpulkan bahwa surah yang mula-mula turun mendorong kita pada
pengembangan sain (disiplin keilmuan). Baru setelahnya, turun surah
yang menganggap urgensitas kebersihan.
Untuk surah pertama, kita dapati firman Allah yang berbunyi, "Bacalah." Surah kedua secara tekstual berbunyi, "Dan pakaianmu bersihkanlah." Dari
sisi historis, Islam sejak dini menetapkan suatu konsep ilmiah yang
dapat diterima secara manusiawi. Oleh karenanya, Islam mendukung
"gerakan antikuman" dan sterilisasi (pembasmian kuman). Bukankah istilah
"sterilisasi" telah dikenal (dan diungkap) Islam dengan terminologi
"kebersihan"? Dalam arti, membersihkan sesuatu dari kuman-kuman
(mikroba).
Islam mengungkap istilah kotoran-kotoran atau kuman-kuman yang melekat
(atau menempel) dengan sebutan "najis". Kemudian pertanyaan yang muncul
adalah mengapa Islam tidak menyebut istilah "najis" secara umum, tanpa
menyertakan pengertian yang lebih khusus dan pembatasan yang lebih
detail? Kenyataannya justru sebaliknya, yakni mengikuti metodologi
ilmiah. Setidaknya ada 13 persoalan yang menjadi sorotan.1)
Persoalan-persoalan di atas itulah yang pada perkembangan mutakhir
lebih dikenal sebagai penyebar virus yang sangat efektif. Di sini, dapat
disebut di antaranya seperti nanah, kotoran manusia, darah yang tumpah,
air seni, muntahan, air liur anjing, daging/tubuh binatang babi, dan
tubuh bangkai-bangkai yang telah membusuk. Data statistik pengetahuan
modern menunjukkan bahwa benda-benda di atas itu, merupakan sesuatu yang
paling ampuh untuk mengembangbiakkan kuman-kuman.
Salah satu faedah disyariatkannya ajaran Islam adalah penetapan hukuman
yang mengharuskan pembersihan najis-najis di atas. Jika najis-najis
itu menempel pada pakaian, mengenai tubuh, bercampur dengan makanan atau
minuman, dan mengotori tempat-tempat majelis yang disinggahi orang,
maka benda-benda itu telah terkena najis. Karena itu, benda-benda
tersebut harus disucikan.
Dalam Islam, mensucikan najis berarti harus menghilangkan warna,
sekaligus bau secara bersamaan. Dengan pernyataan ini, semakin
menegaskan bahwa Islam adalah ajaran yang sangat memperhatikan
perubahan-perubahan warna, bau, dan rasa pada makanan. Karena, wujudnya
perubahan-perubahan itu menunjukkan adanya kuman-kuman dan virus yang
semakin merajalela (leluasa). Hal inilah, dalam kaca mata agama,
dipandang sebagai najis atau berarti virus (kotoran) dalam teoritis
medis mutakhir.
Sangat variatif ayat-ayat Al-Qur'an dalam memandang najis atau
kotoran. Ia disebut dengan ungkapan "ar-rijsu" dan "asy-syaithan",
seperti firman Allah,
"Katakanlah,
'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir; atau daging babi, karena
sesungguhnya semua itu kotor" (al-An'aam: 145)
Mencuci dengan air mengalir adalah cara efektif membasmi kuman-kuman, seperti tersirat dalam Al-Qur'an,
"Allah
menurunkan kepadamu hujan dari langit untuh mensucikan kamu dengan
hujan itu, dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan."
(al-Anfaal: 11)
Dengan demikian, Islam adalah penggagas konsep pertama yang telah
dikenal dalam tabiat kemanusiaan (human nature). Secara eksplisit, Islam
memberi isyarat yang sangat otentik bahaya sakit akibat kuman-kuman dan
parasit-parasit (virus-virus) yang menimpa manusia. Isyarat ini jauh
melampaui teknologi mikroskop yang menguaknya selisih 12 (dua belas)
abad yang lalu. Dengan pernyataan ini, bisa dibenarkan bahwa Islam
merupakan peletak dasar pertama tentang kebersihan yang kemudian
dipandang sebagai pencegahan asasi dari bahaya (pengaruh) basil-basil
dan bakteri.
Karena itu, ayat-ayat seputar perintah wudhu mengandung banyak hikmah
berharga yang dapat dipetik, di samping bisa dikaji sebagai
kajian-kajian ilmiah yang ada keterkaitannya dengan ilmu medis. Terlebih
lagi hubungannya dengan ilmu kedokteran preventif yang amat bermanfaat
bagi manusia. Jika tidak ada kiat-kiat pembersihan pada organ-organ
tubuh tertentu, maka (dikhawatirkan) mewabahnya penyakit kulit sulit
dihindari. Karena, adanya faktor polusi udara yang mengandung unsur
kuman dan bakteri ataupun gas yang sangat berbahaya (bagi kehidupan).
Tidak syak lagi bahwa muka, tangan, dan telapak kaki adalah beberapa di
antara organ tubuh yang memiliki daya sensitivitas yang lebih bila
terkontaminasi kuman-kuman dan virus. Diketahui bahwa pada setiap satu
centimeter persegi (kubik) udara terdapat miliaran kuman. Meski
terhitung 5 kali kita berwudhu, namun hal itu tidak dengan serta merta
mampu menghindar secara total dari bahaya-bahaya kotoran di dalam
tubuh."2)
Dengan demikian, wudhu bisa dipahami sebagai penafsir kaidah ilmiah
(adagium) yang menyatakan, "Tindakan preventif itu lebih baik daripada
tindakan kuratif." Karena sesungguhnya membersihkan diri sendiri,
merupakan jalan terbaik untuk menghindari penyakit-penyakit. Hal ini
juga sebagai upaya terapi penyembuhannya.
Hal ini terbersit dalam makalah yang disampaikan Dr. Mustafa Syuhatah
pada Kongres Antar-Negara-Negara Islam tentang Kesehatan dalam
Perspektif Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang diselenggarakan di Kairo,
tepatnya pada tanggal 8-11 Muharram 1406 H (23-26 September 1985 M).
Kongres ini diikuti sebanyak 500 peserta dari 28 Negara, yang
menenggarai pentingnya membersihkan hidung saat berwudhu. Dia berkata,
"Rongga hidung merupakan salah satu sarang berkembangbiaknya sejumlah
besar kuman-kuman. Dalam perspektif ilmu biologi, juga menunjukkan hal
yang sama."3)
Dalam tema lain, disebutkan bahwa pernah dilakukan studi lapangan
kepada beberapa orang yang melakukan shalat dengan karakteristik khusus,
dan beberapa orang lainnya yang tidak menunaikannya. Ketika itu sempat
dilakukan penelitian di kedua rongga hidung. 'Ternyata hasil penelitian
menunjukkan bahwa membersihkan hidung sebanyak 5 kali dalam setiap
wudhu bisa menjaga kenyamanan rongga-rongga itu dari penyakit infeksi
peradangan. Sehingga, sangat kecil kemungkinan bersarangnya kuman
(mikroba) di dalamnya, yang bisa menular ke seluruh tubuh. Selain itu,
juga bisa melindungi organ-organ tubuh lain dari serangan kuman, yang
diakibatkan oleh banyaknya kuman yang bersarang di dalam rongga hidung
tersebut.4)
Seiring
perkembangan studi ilmiah pada abad ke-20, telah disimpulkan
(ditemukan) bahwa organ hidung yang berada di atas organ alat pernapasan
telah berfungsi memproses sistem pernapasan secara terus-menerus. Ia
sekaligus berfungsi mencegah masuknya kuman-kuman dan bakteri yang
bercampur lewat udara. Dengan demikian, hal ini bisa dibuktikan pada
masa setelah persalinan (melahirkan anak). Pada saat itu dalam rongga
hidung seseorang ibu, terdapat ribuan kuman (basil-basil) yang
memenuhinya.
Teknologi mikroskop telah membantu kita untuk memantau bakteri-bakteri yang amat bervariasi.5)
Ternyata lubang hidung menyimpan beragam kuman dan bakteri. Bahkan,
kuman dan bakteri itu berpindah-pindah dari hidung menuju organ
pernapasan. Dari rongga hidung menuju telinga tengah dan sampai ke
permukaan kulit, bahkan sampai udara luar.
Jadi, sudah banyak penemuan studi-studi medis yang menyatakan bahwa
kuman-kuman itulah penyebab utama menjangkitnya wabah penyakit. Karena
itu, pembersihan hidung (dengan berkumur) tidak sempurna, kecuali sampai
pada upaya pelenyapan virus-virus atau kuman-kuman itu. Allah, Rabb
semesta alam, menjadikan semacam "antibiotik" dalam hidung manusia
sebagai garis-garis penahan yang kuat yang berfungsi menolak bahaya yang
ditimbulkan oleh kuman (mikroba). Untuk itulah, kita temukan lubang
hidung seseorang ditumbuhi bulu-bulu lebat, yang berfungsi mencegah
masuknya kuman-kuman dari udara sebagai bahan pernapasan.
Kita temukan lemak yang terpisah dari kulit yang bersama-sama membaur
dengan kuman-kuman. Juga kita temukan lendir yang berfungsi membunuh
ribuan virus atau basil-basil. Akan tetapi, ia tidak dengan serta merta
mampu membasmi jutaan bakteri yang muncul setiap hari, beranak pinak
dalam rentang masa.
Karena faktor-faktor itulah, maka hidung pun akan sangat baik jika
dibersihkan dengan alat kontrasepsi medis yang sesuai untuk
meminimalisir bahaya bakteri-bakteri di dalamnya. Kebanyakan dokter
spesialis mempunyai resep terapi kesehatan, untuk menghindari
terkontaminasinya hidung oleh kuman-kuman. Misalnya, dengan cara menjaga
kebersihan yang positif, dengan terus-menerus mengontrolnya dengan
peralatan medis. Atau, mengkonsumsi obat antibiotik yang tentunya
membutuhkan waktu cukup lama.
Ada
juga dengan cara yang sering digunakan. Yakni, dengan meletakkan masker
penutup di atas hidung agar aman dan terhindar dari masuknya
kuman-kuman itu. Hanya saja semua kiat itu memperlihatkan pentingnya
pembersihan hidung secara teratur. Cara yang praktis dan lebih mudah
adalah dengan membersihkan hidung (berkumur) saat melakukan wudhu
sebanyak 5 kali sehari.
Cara-cara seperti ini mengingatkan kita pada apa yang pernah berkecamuk
dalam benak sejumlah dokter di Fakultas Kedokteran Universitas
Alexanderia, tentang studi-studi pemikiran faedah wudhu yang dilakukan
seorang muslim. Tepatnya mengenai rahasia diawalinya aktivitas wudhu
dengan membasuh kedua telapak tangan, dilanjutkan berkumur (madlmadlah), lalu menghisap air ke dalam hidung (istinsyaq) dan sekaligus menyemburkannya (istintsar)
sampai tiga kali, dan seterusnya. Juga misteri apakah di balik
aktivitas wudhu dalam perspektif ilmiah dan apa manfaatnya terhadap
kesehatan.
Studi ini sangat menarik. Pasalnya, dengan serius diteliti
sedetail-detailnya dan menghabiskan masa dua tahun yang melibatkan
sebagian besar umat Islam yang aktif melakukan aktivitas wudhu. Hal ini
untuk membuka tabir urgensitas kewajiban agama.6)
Dijiwai oleh faktor spirit agama, para sarjana Universitas Alexanderia
berlomba-lomba melakukan perneriksaan kesehatan (chek-up) atas ratusan
penduduk pribumi yang secara fisik mereka sehat jasmani, namun enggan
berwudhu. Kemudian dilakukan pemerikasaan dengan menggunakan alat
kontrasepsi medis di dalam lubang hidung mereka. 'Tujuannya untuk
mendeteksi sistem cara kerja kuman-kuman yang berada di dalamnya.
Pada sisi lain, juga dilakukan pemeriksaan hidung terhadap masyarakat
yang aktif melakukan wudhu. Kepada mereka juga dilakukan pemeriksaan
intensif dan malahan dilakukan suatu analisis. Pemeriksaan ini
memerlukan waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan yang melibatkan
kedua komunitas di atas, dan juga melibatkan lapisan masyarakat.' Dari
hasil survei itulah, para dokter menemukan beberapa kesimpulan
bervariasi, yang kemudian dijadikan acuan bahan analisis. Ternyata hasil
penelitian yang mereka lakukan amat mengagumkan. Kemudian mereka
menyimpannya dalam rekaman yang otentik. Majalah-majalah ilmiah di luar
dan dalam negeri Mesir, sempat juga mempublikasikannya. Itulah proyek
penelitian ilmiah yang besar.
Orang yang tidak atau (jarang) berwudhu, tampak hidungnya (terkesan)
pucat pasi, lubang hidungnya lengket (lekat), dan berwarna redup
(gelap). Bulu-bulu dalam lubang hidungnya sering rontok dan kasar.
Padahal, bulu-bulu itu berfungsi menjaga rongga hidung dari menempelnya
debu-debu yang akan masuk.
Sedangkan, hidung orang yang membiasakan wudhu tampak kebalikannya.
Kulit luar hidungnya tampak berkilau, bersih jika diusap, bersih dari
debu-debu, bulu-bulu di dalamnya halus nan bersih, dan terbebas dari
kotoran-kotoran. Wudhu adalah satu media bersuci. Ia hanyalah contoh
satu parsial saja selain sarana-sarana bersuci lainnya yang ditawarkan
Islam. Selain itu, Islam juga memerintahkan pemeluknya untuk mandi di
setiap kesempatan. Untuk itulah, para pakar Islam menetapkan sebab-sebab
pendorong kewajiban mandi dalam Islam yang berjumlah tujuh. Lalu mandi
yang disunnahkan ada enam belas.
Jadi, jumlah keseluruhan mandi yang dianjurkan Islam ada dua puluh tiga
sebab. Kami (harus) membatasi diri hanya menyebut bahwa langkah pertama
yang harus ditempuh orang masuk Islam adalah dengan mandi. Bahkan,
sebelum dia bersaksi dengan menyebut syahadat, "Tiada Tuhan yang layak
disembah selain Allah."7)
Jelaslah bahwa keagungan Islam disebabkan ia menganjurkan kebersihan,
yang menjadi pintu pertama menyingkirkan (membasmi) penyakit-penyakit.
Hal ini tampaknya juga berlaku bagi kepentingan teori ilmiah, bahwa
"tindakan pencegahan (preventif) itu lebih baik dari pengobatan
(kuratif)", yang kemudian baru muncul studi-studi ilmiah tentangnya
dalam abad ke-20 ini.
Catatan Kaki:
1. Dalam pendapat lain ada yang menyatakan 14 materi yang dikaji.
2. Pembahasan lebih jauh dapat dibaca dalam Al-I'jaz al-Ilmy li Ahadiitsi Rasuuhllah saw.
3. Hasil seminar ini telah dipublikasikan dalam Majalah Al-Irsyad, Yaman edisi Oktober-November 1985.
4. Salah satu komunike dalam Kongres Antar-Negara-Negara Islam di Kairo tersebut.
5. Sejenis al-kurawiyyah... as-sabhiyyah... al-'ashwiyyah... dan sebagainya dari berbagai jenis bakteri.
6. Studi
ini, di luar makalah yang disampaikan Dr Musthafa Syuhatah dalam
seminar Islam di atas. Term ini saya angkat untuk membuktikan keilmiahan
wudhu dalam kesehatan. Bahkan, term-term seperti inilah yang menarik
perhatian para sarjana Universitas Alexanderia. Term-term ini juga
sempat dimuat dalam majalah Al-Ummat al-Islamiyah yang terbit pada awal
bulan Rabi'ul Awwal 1406 H (November 1985 M).
7. Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjary, At-Thibb al-Wiqaa'iy fii al-Islami.