Senin, 26 Desember 2011

ILMU KEDOKTERAN PREVENTIF

ILMU KEDOKTERAN PREVENTIF


Muhammad Kamil Abdushshamad

Dari : Mukjizat Ilmiah Dalam Al-Qur'an

Kebersihan





Allah berfirman,

"Dari pakaianmu bersihkanlah." (al-Muddatstsir: 4)

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. Sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh wanita, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur" (al­-Maa'idah: 6)

Jika kita cermati ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur'an, segera dapat disimpulkan bahwa surah yang mula-mula turun mendorong kita pada pengembangan sain (disiplin keilmuan). Baru setelah­nya, turun surah yang menganggap urgensitas ke­bersihan.

Untuk surah pertama, kita dapati firman Allah yang berbunyi, "Bacalah." Surah kedua secara tekstual berbunyi, "Dan pakaianmu bersihkanlah." Dari sisi historis, Islam sejak dini menetapkan suatu konsep ilmiah yang dapat diterima secara manusiawi. Oleh karenanya, Islam mendukung "gerakan antikuman" dan sterilisasi (pembasmian kuman). Bukankah istilah "sterilisasi" telah dikenal (dan diungkap) Islam dengan terminologi "kebersihan"? Dalam arti, membersihkan sesuatu dari kuman-kuman (mikroba).

Islam mengungkap istilah kotoran-kotoran atau kuman­-kuman yang melekat (atau menempel) dengan sebutan "najis". Kemudian pertanyaan yang muncul adalah mengapa Islam tidak menyebut istilah "najis" secara umum, tanpa menyer­takan pengertian yang lebih khusus dan pembatasan yang lebih detail? Kenyataannya justru sebaliknya, yakni mengikuti metodologi ilmiah. Setidaknya ada 13 persoalan yang menjadi sorotan.1)

Persoalan-persoalan di atas itulah yang pada perkem­bangan mutakhir lebih dikenal sebagai penyebar virus yang sangat efektif. Di sini, dapat disebut di antaranya seperti nanah, kotoran manusia, darah yang tumpah, air seni, muntahan, air liur anjing, daging/tubuh binatang babi, dan tubuh bangkai­-bangkai yang telah membusuk. Data statistik pengetahuan modern menunjukkan bahwa benda-benda di atas itu, merupakan sesuatu yang paling ampuh untuk mengembang­biakkan kuman-kuman.

Salah satu faedah disyariatkannya ajaran Islam adalah penetapan hukuman yang mengharuskan pembersihan najis-­najis di atas. Jika najis-najis itu menempel pada pakaian, mengenai tubuh, bercampur dengan makanan atau minuman, dan mengotori tempat-tempat majelis yang disinggahi orang, maka benda-benda itu telah terkena najis. Karena itu, benda­-benda tersebut harus disucikan.

Dalam Islam, mensucikan najis berarti harus menghilangkan warna, sekaligus bau secara bersamaan. Dengan pernyataan ini, semakin menegaskan bahwa Islam adalah ajaran yang sangat memperhatikan perubahan-perubahan warna, bau, dan rasa pada makanan. Karena, wujudnya perubahan-perubahan itu menunjukkan adanya kuman­-kuman dan virus yang semakin merajalela (leluasa). Hal inilah, dalam kaca mata agama, dipandang sebagai najis atau berarti virus (kotoran) dalam teoritis medis mutakhir.

Sangat variatif ayat-ayat Al-Qur'an dalam memandang najis atau kotoran.  Ia disebut dengan ungkapan "ar-rijsu" dan "asy-syaithan", seperti firman Allah,

"Katakanlah, 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir; atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor" (al-An'aam: 145)

Mencuci dengan air mengalir adalah cara efektif membas­mi kuman-kuman, seperti tersirat dalam Al-Qur'an,

"Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuh mensucikan kamu dengan hujan itu, dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan." (al-Anfaal: 11)

Dengan demikian, Islam adalah penggagas konsep pertama yang telah dikenal dalam tabiat kemanusiaan (human nature). Secara eksplisit, Islam memberi isyarat yang sangat otentik bahaya sakit akibat kuman-kuman dan parasit-parasit (virus-virus) yang menimpa manusia. Isyarat ini jauh melampaui teknologi mikroskop yang menguaknya selisih 12 (dua belas) abad yang lalu. Dengan pernyataan ini, bisa dibenarkan bahwa Islam merupakan peletak dasar pertama tentang kebersihan yang kemudian dipandang sebagai pencegahan asasi dari bahaya (pengaruh) basil-basil dan bakteri.

Karena itu, ayat-ayat seputar perintah wudhu mengan­dung banyak hikmah berharga yang dapat dipetik, di samping bisa dikaji sebagai kajian-kajian ilmiah yang ada keterkaitannya dengan ilmu medis. Terlebih lagi hubungannya dengan ilmu kedokteran preventif yang amat bermanfaat bagi manusia. Jika tidak ada kiat-kiat pembersihan pada organ-organ tubuh tertentu, maka (dikhawatirkan) mewabahnya penyakit kulit sulit dihindari. Karena, adanya faktor polusi udara yang mengandung unsur kuman dan bakteri ataupun gas yang sangat berbahaya (bagi kehidupan).

Tidak syak lagi bahwa muka, tangan, dan telapak kaki adalah beberapa di antara organ tubuh yang memiliki daya sensitivitas yang lebih bila terkontaminasi kuman-kuman dan virus. Diketahui bahwa pada setiap satu centimeter persegi (kubik) udara terdapat miliaran kuman. Meski terhitung 5 kali kita berwudhu, namun hal itu tidak dengan serta merta mampu menghindar secara total dari bahaya-bahaya kotoran di dalam tubuh."2)

Dengan demikian, wudhu bisa dipahami sebagai penafsir kaidah ilmiah (adagium) yang menyatakan, "Tindakan preventif itu lebih baik daripada tindakan kuratif." Karena sesungguhnya membersihkan diri sendiri, merupakan jalan terbaik untuk menghindari penyakit-penyakit. Hal ini juga sebagai upaya terapi penyembuhannya.

Hal ini terbersit dalam makalah yang disampaikan Dr. Mustafa Syuhatah pada Kongres Antar-Negara-Negara Islam tentang Kesehatan dalam Perspektif Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang diselenggarakan di Kairo, tepatnya pada tanggal 8-11 Muharram 1406 H (23-26 September 1985 M). Kongres ini diikuti sebanyak 500 peserta dari 28 Negara, yang menenggarai pentingnya membersihkan hidung saat berwudhu. Dia berkata, "Rongga hidung merupakan salah satu sarang berkembangbiaknya sejumlah besar kuman-kuman. Dalam perspektif ilmu biologi, juga menunjukkan hal yang sama."3) Dalam tema lain, disebutkan bahwa pernah dilakukan studi lapangan kepada beberapa orang yang melakukan shalat dengan karakteristik khusus, dan beberapa orang lainnya yang tidak menunaikannya. Ketika itu sempat dilakukan penelitian di kedua rongga hidung. 'Ternyata hasil penelitian menunjuk­kan bahwa membersihkan hidung sebanyak 5 kali dalam setiap wudhu bisa menjaga kenyamanan rongga-rongga itu dari penyakit infeksi peradangan. Sehingga, sangat kecil kemung­kinan bersarangnya kuman (mikroba) di dalamnya, yang bisa menular ke seluruh tubuh. Selain itu, juga bisa melindungi organ-organ tubuh lain dari serangan kuman, yang diakibatkan oleh banyaknya kuman yang bersarang di dalam rongga hidung tersebut.4)

Seiring perkembangan studi ilmiah pada abad ke-20, telah disimpulkan (ditemukan) bahwa organ hidung yang berada di atas organ alat pernapasan telah berfungsi memproses sistem pernapasan secara terus-menerus.  Ia sekaligus berfungsi mencegah masuknya kuman-kuman dan bakteri yang bercampur lewat udara. Dengan demikian, hal ini bisa dibuktikan pada masa setelah persalinan (melahirkan anak). Pada saat itu dalam rongga hidung seseorang ibu, terdapat ribuan kuman (basil-basil) yang memenuhinya.

Teknologi mikroskop telah membantu kita untuk meman­tau bakteri-bakteri yang amat bervariasi.5) Ternyata lubang hidung menyimpan beragam kuman dan bakteri. Bahkan, kuman dan bakteri itu berpindah-pindah dari hidung menuju organ pernapasan. Dari rongga hidung menuju telinga tengah dan sampai ke permukaan kulit, bahkan sampai udara luar.

Jadi, sudah banyak penemuan studi-studi medis yang menyatakan bahwa kuman-kuman itulah penyebab utama menjangkitnya wabah penyakit. Karena itu, pembersihan hidung (dengan berkumur) tidak sempurna, kecuali sampai pada upaya pelenyapan virus-virus atau kuman-kuman itu. Allah, Rabb semesta alam, menjadikan semacam "anti­biotik" dalam hidung manusia sebagai garis-garis penahan yang kuat yang berfungsi menolak bahaya yang ditimbulkan oleh kuman (mikroba). Untuk itulah, kita temukan lubang hidung seseorang ditumbuhi bulu-bulu lebat, yang berfungsi mencegah masuknya kuman-kuman dari udara sebagai bahan pernapasan.

Kita temukan lemak yang terpisah dari kulit yang bersama-­sama membaur dengan kuman-kuman. Juga kita temukan lendir yang berfungsi membunuh ribuan virus atau basil-basil. Akan tetapi, ia tidak dengan serta merta mampu membasmi jutaan bakteri yang muncul setiap hari, beranak pinak dalam rentang masa.

Karena faktor-faktor itulah, maka hidung pun akan sangat baik jika dibersihkan dengan alat kontrasepsi medis yang sesuai untuk meminimalisir bahaya bakteri-bakteri di dalamnya. Kebanyakan dokter spesialis mempunyai resep terapi kesehatan, untuk menghindari terkontaminasinya hidung oleh kuman-kuman. Misalnya, dengan cara menjaga kebersihan yang positif, dengan terus-menerus mengontrolnya dengan peralatan medis. Atau, mengkonsumsi obat antibiotik yang tentunya membutuhkan waktu cukup lama.

Ada juga dengan cara yang sering digunakan. Yakni, dengan meletakkan masker penutup di atas hidung agar aman dan terhindar dari masuknya kuman-kuman itu. Hanya saja semua kiat itu memperlihatkan pentingnya pembersihan hidung secara teratur. Cara yang praktis dan lebih mudah adalah dengan membersihkan hidung (berkumur) saat melakukan wudhu sebanyak 5 kali sehari.

Cara-cara seperti ini mengingatkan kita pada apa yang pernah berkecamuk dalam benak sejumlah dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Alexanderia, tentang studi-studi pemikiran faedah wudhu yang dilakukan seorang muslim. Tepatnya mengenai rahasia diawalinya aktivitas wudhu dengan membasuh kedua telapak tangan, dilanjutkan berkumur (madlmadlah), lalu menghisap air ke dalam hidung (istinsyaq) dan sekaligus menyemburkannya (istintsar) sampai tiga kali, dan seterusnya. Juga misteri apakah di balik aktivitas wudhu dalam perspektif ilmiah dan apa manfaatnya terhadap kesehatan.

Studi ini sangat menarik. Pasalnya, dengan serius diteliti sedetail-detailnya dan menghabiskan masa dua tahun yang melibatkan sebagian besar umat Islam yang aktif melakukan aktivitas wudhu. Hal ini untuk membuka tabir urgensitas kewajiban agama.6)

Dijiwai oleh faktor spirit agama, para sarjana Universitas Alexanderia berlomba-lomba melakukan perneriksaan kesehatan (chek-up) atas ratusan penduduk pribumi yang secara fisik mereka sehat jasmani, namun enggan berwudhu. Kemudian dilakukan pemerikasaan dengan menggunakan alat kontrasepsi medis di dalam lubang hidung mereka. 'Tujuannya untuk mendeteksi sistem cara kerja kuman-kuman yang berada di dalamnya.

Pada sisi lain, juga dilakukan pemeriksaan hidung terhadap masyarakat yang aktif melakukan wudhu. Kepada mereka juga dilakukan pemeriksaan intensif dan malahan dilakukan suatu analisis. Pemeriksaan ini memerlukan waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan yang melibatkan kedua komunitas di atas, dan juga melibatkan lapisan masyarakat.' Dari hasil survei itulah, para dokter menemukan beberapa kesimpulan bervariasi, yang kemudian dijadikan acuan bahan analisis. Ternyata hasil penelitian yang mereka lakukan amat mengagumkan. Kemudian mereka menyimpannya dalam rekaman yang otentik. Majalah-majalah ilmiah di luar dan dalam negeri Mesir, sempat juga mempublikasikannya. Itulah proyek penelitian ilmiah yang besar.

Orang yang tidak atau (jarang) berwudhu, tampak hidungnya (terkesan) pucat pasi, lubang hidungnya lengket (lekat), dan berwarna redup (gelap). Bulu-bulu dalam lubang hidungnya sering rontok dan kasar. Padahal, bulu-bulu itu berfungsi menjaga rongga hidung dari menempelnya debu­-debu yang akan masuk.

Sedangkan, hidung orang yang membiasakan wudhu tampak kebalikannya. Kulit luar hidungnya tampak berkilau, bersih jika diusap, bersih dari debu-debu, bulu-bulu di dalamnya halus nan bersih, dan terbebas dari kotoran-kotoran. Wudhu adalah satu media bersuci.  Ia hanyalah contoh satu parsial saja selain sarana-sarana bersuci lainnya yang ditawarkan Islam. Selain itu, Islam juga memerintahkan pemeluknya untuk mandi di setiap kesempatan. Untuk itulah, para pakar Islam menetapkan sebab-sebab pendorong kewajiban mandi dalam Islam yang berjumlah tujuh. Lalu mandi yang disunnahkan ada enam belas.

Jadi, jumlah keseluruhan mandi yang dianjurkan Islam ada dua puluh tiga sebab. Kami (harus) membatasi diri hanya menyebut bahwa langkah pertama yang harus ditempuh orang masuk Islam adalah dengan mandi. Bahkan, sebelum dia bersaksi dengan menyebut syahadat, "Tiada Tuhan yang layak disembah selain Allah."7)

Jelaslah bahwa keagungan Islam disebabkan ia mengan­jurkan kebersihan, yang menjadi pintu pertama menyingkirkan (membasmi) penyakit-penyakit. Hal ini tampaknya juga berlaku bagi kepentingan teori ilmiah, bahwa "tindakan pencegahan (preventif) itu lebih baik dari pengobatan (kuratif)", yang kemudian baru muncul studi-studi ilmiah tentangnya dalam abad ke-20 ini.

Catatan Kaki:

1. Dalam pendapat lain ada yang menyatakan 14 materi yang dikaji.

2. Pembahasan lebih jauh dapat dibaca dalam Al-I'jaz al-Ilmy li Ahadiitsi Rasuuhllah saw.

3. Hasil seminar ini telah dipublikasikan dalam Majalah Al-Irsyad, Yaman edisi Oktober-November 1985.

4. Salah satu komunike dalam Kongres Antar-Negara-Negara Islam di Kairo tersebut.

5. Sejenis al-kurawiyyah... as-sabhiyyah... al-'ashwiyyah... dan sebagainya dari berbagai jenis bakteri.

6. Studi ini, di luar makalah yang disampaikan Dr Musthafa Syuhatah dalam seminar Islam di atas. Term ini saya angkat untuk membuktikan keilmiahan wudhu dalam kesehatan. Bahkan, term-term seperti inilah yang menarik perhatian para sarjana Universitas Alexanderia. Term-term ini juga sempat dimuat dalam majalah Al-Ummat al-Islamiyah yang terbit pada awal bulan Rabi'ul Awwal 1406 H (November 1985 M).

7. Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjary, At-Thibb al-Wiqaa'iy fii al-Islami.