Kamis, 21 Juni 2012

Tasawuf Tanpa Thariqah sama dengan Nol



Sebagian orang sering tumpang-tindih dalam memahami tasawuf dan tarekat (thariqah). Kadang, keduanya juga dianggap berdiri sendiri dan terpisah. KH Luqman Hakim yang dikenal sebagai pakar sekaligus pelaku thariqah membeberkan mengenai tasawuf, thariqah, mursyid, mu’tabaroh dan ghoiru mu’tabaroh, dan beberapa hal mengenai thariqah.


Berikut petikan wawancara Abdullah Alawi dari NU Online bersama KH Luqman Hakim beberapa waktu lalu dalam sebuah acara pertemuan para sufi dunia di Jakarta yang diselenggarakan oleh PBNU.

Bagimana kaitan antara tasawuf dan thariqah?

Orang yang bertasawuf tapi tidak bertarekat, itu nol. Orang bertoriqoh, tapi tak bertasawuf, juga nol.

Penjelasannya bagaimana?

Kalau orang bertasawuf saja, tapi tidak berthariqah, dia akan sulit mengamalkan ilmunya. Jadi, ibarat begini, untuk masuk ke dalam Masjidil Haram, lho pintunya kok banyak banget ini. Padahal dia kan butuh satu pintu saja untuk masuk. Nah, kalau dia ngawur, malah dia ingin manjat. Masjidil Haram masa dipanjat. Padahal udah ada pintunya. Atau begini, orang banyak sekali memiliki bumbu. Bumbunya sudah lengkap. Ini ilmunya sudah lengkap. Gimana ya, ngulek ini? Oh, dia butuh seorang pemandu. Kalau bikin sayur asem itu, ini bumbunya. Kalau sayur lodeh itu, ini bumbunya. Kalau dia ngawur, wah, saya punya bumbu lengkap. Saya bikin makanan yang lengkap juga. Semua bumbu diulek semua di situ. Begitu dimasak, rasanya jadi heran. Nggak kemakan. Banyak orang mabuk dia, sinting dia, nah, itu syetan masuk. 


Tapi kalau sebaliknya, thariqah tanpa ilmu tasawuf itu bagaimana?

Artinya dia, ibaratnya, dia nggak tahu makanan itu beracun apa nggak. Dia nggak tahu porsi maknnya seberapa. Padahal kalau anda misalnya, mas ini satu meja ini berbagai makanan untuk anda. Kalau orang tidak punya tasawuf, ini milik saya semua. Makan semua kalau begitu. Keracunan dia. Padahal yang dibutuhkan satu piring. Ambil saja yang pas. Udah. Walaupun itu milik anda semua. Masak anda makan semua? Kalau nggak ada ilmunya, bisa-bisa begitu, kan.

Kalau sudah berthariqah, bukannya sudah berguru, dan kalau sudah berguru, bukannya secara otomatis sudah dibimbing?

Artinya, kalau gurunya, pasti sudah bertasawuf. Muridnya juga dibimbing bertasawuf. Diajarin ngaji, ini itu, itu sekaligus bertasawuf. Maksudnya begitu.

Di NU ada Jam’iyah Ahlu Thoriqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman). Nah, di Jatman terdiri dari berbagai thariqah. thariqahnya yang mu’tabaroh. Berarti kalau ada mu’tabaroh ada yang ghairu mu’tabaroh

Jadi, tarekat itu begini, mu’tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu hanya soal silsilah, sanad. Ada yang disebut tidak mu’tabaroh karena ada toriqoh yang sanad tidak jelas sampai ke Rasulullah. Kalau silsilah sanadnya ‘an ini ‘an ini sampai Rasulullah, jelas betul, sohibul musnid ini bener-bener diakui, oh ya, ini memang benar dari Rasulullah. Misalnya orang bikin sanad sendiri, nggak jelas, nggak dikenal semua, ya nggak mu’tabar. Gitu aja. Seperti hadist sohihdaifhasan dan seterusnya.

Yang berhak mengatakan mu'tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu siapa?

Itu kesepakatan kaum sufi, seperti kesepakatan ahli hadis. Ahli hadist sendiri menentukan ini sahih, ini daif, itu kan bukan dari Kanjeng Nabi. Itu kan kesepakatan komunitas aja.

Setuju dengan adanya label ghair mu’tabaroh kepada kalangan sufi tertentu? 

NU menolak memasukan sebagai toriqoh mu’tabaroh karena sanadnya ada yang tidak sampai Rasulullah. Jadi seperti itu. Banyak orang, oh saya mau bikin majlis zikir, itu bagus. Tetapi tidak disebut sebagai toriqoh, kan begitu aja. Jadi beginilah, di toriqah itu kan ada amaliyahnya. Amaliyahnya itu memang dari Rasulullah.

Diajarkan langsung?

Iya. Melalui zikir. Zikirnya begini. Rasulullah dulu mengajarkan kepada para sahabat itu ada yang satu per satu dipanggil. Ada yang lima orang dipanggil. Sepuluh orang dipanggil. Nah, dari masing-masing itu, mengajarkan pula kepada tabi’in ada yang satu per satu. Nah, ini kenapa sehingga toriqoh itu jadi banyak.

Tapi kenapa penamaan thariqah, misalnya pas zaman Syeikh Abdul Qodir, sementara dia lahir jauh masa Nabi?

Makanya penamaan itu pun tidak mutlak. Suatu ketika, sebenarnya alurnya ini sama dengan Syekh Abdul Qodir, tapi suatu ketika tokoh utamanya, misalnya Tijani, syekh Tijani. Padahal dia sebelumnya, adalah orang Qodiriyah. Itu contohnya. Jadi, ada yang alurnya nanti sanadnya ada yang melalui Abu Bakar, melalui Sayidina Anas, Sayidina Ali. Nah, ini sanadnya itu tadi, sayidina Umar, sayidina Utsman pun ada. Ada yang Uwais al-Qorony, ada. Nabi itu kenapa berbeda-beda ngajarin zikir karena masing-masing harus mengamalkan menurut format sakilah. Sakilah itu menurut kemampuan indiviidual, spiritual masing-masing yang berbeda-beda. Oh, ini yang pas zikirnya Allah saja. Yang ini La Ilaha Illallah. Ini solawatnya begini. Solawatnya kadang berbeda-beda

Berarti kalau  begitu, Nabi Muhammad itu sebagai, katakanlah seorang mursyid itu mengetahui watak para sahabat?

Lha iya. Dan seorang mursyid yang benar harus tahu si murid, calon murid ini bentuknya gelas, apa piring, apa coet. Oh, kalau piring, nasi isinya. Jangan coca cola. Kalau gelas ya, minuman, jangan diisi sambel.

Tapi ada yang harus dibacakan secara umum oleh murid-murid di seluruh thariqah?

Ya, kalau umum itu, kalau makan itu, ibarat nasinya. Nasinya sama, lauknya yang berbeda-beda. Seorang mursyid harus tahu.

Dan itu sudah ada dalam diri mursyid ya? Nggak bisa dipelajari?

Makanya di Al-Quran, surat Kahfi itu, disebutkan waman yudlil falan tazida lahu, waliyyam mursyida. Siapa yang hidupnya dholalah, tersesat, maka dalam hidupnya tidak akan menemukan waliyyan mursyida. Seorang wali yang mursyid. Syarat seorang mursyid harus wali. Banyak wali, tapi belum tentu mursyid. Banyak mursyid, belum tentu wali.

Bagaimana penjelasannya?

Kan banyak mursyid-mursyid itu. Belum tentu dia itu, memiliki kapasitas waliyyan mursyida.

Kalau begitu, tipikal mursyid itu bagaimana?

Mungkin dia masih punya mursyid lagi. Dia hanya diberi lisensi untuk ngajarin thariqah. Tapi posisinya ini bukan mursyid, sebenarnya. Tapi ada yang mengaku mursyid, begitu.

Kayak khalifah, begitu, ya?

Iya. Khalifah ya khalifah.

Kalau nggak salah, saya pernah mendengar tipikal mursyid yang kamil mukamil? 

Kamil mukamil itu sama dengan waliyyam mursyida.

Ada kamil. Ada mukammil?

Kamil mukamil adalah mursyid yang sudah paripurna. Suduh wushul dia sendiri kepada Allah dan diberi opsional, yang memang dari Allah juga untuk membimbing seseorang supaya sampai juga kepada Allah, jiwanya. Sempurna dan juga bisa menyempurnakan orang lain mukammil lighairih.

Pak, kalau melihat sejarah, tasawuf dan kalangan tarekat pernah dituding sebagai penyebab kemunduran umat Islam? Bagaiamana ini, pak?

Itu akibat tekanan sosial, politik, ekonomi, macam-macam, lalu dia lari ke tarekat, dalam kondisi ekslusif. Ada lagi yang dia memang, dia memerankan betul bahwa thariqah itu sebenarnya Islam yang utuh. Jadi, begini, saya sering menggambarkan proses spiritualnya Nabi, di dalam Isra’ Mi’raj. Nabi, ketika mi’raj itu meninggalkan semuanya. Segala hal selain Allah ditinggalkan. Ketika begitu, kelihatannya ekslusif, nih. Begitu ketemu Allah, rupanya belum puncak. Oleh Allah, kamu sekarang dapat tugas, balik ke dunia. Orang sufi yang benar, dia kembali ke dunia. Iya, menjadi biasa lagi. Tidak tampilnya eksklusif. Ini belum selesai nih tasawufnya. Apalagi yang mazdub, wah… belum selesai. Proses.

Justru ketika Nabi ketemu Tuhan itu bukan puncak, ya? 

Bukan. Puncaknya ya ketika kembali ke dunia. Tapi ke dunia bersama Allah sehingga rahmatan lil alamin.

Anggapan penyebab kemunduran umat Islam itu bagaimana?

Itu yang diamati sufi-sufi yang belum selesai tadi.

Kalau misalnya seseorang, saya misalnya, dengan cara yang entah, kemudian, tiba-tiba bisa ketemu seorang mursyid itu karena apa? 

Ya macam-macam. Orang bertemu seorang mursyid itu karena macam-macam. Faktor itu nggak bisa kita duga. Bisa karena kita mencari, baru ketemu. Ada orang yang ngak sengaj, ketemu. Ada orang yang, begini, ibarat berjalan. Ada orang tiba-tiba ketemu di jalan. Ada yang bisa tiba-tiba-tabrakan di jalan. Lho, siapa ini? Mursyid ternyata.

Itu udah petunjuk Tuhan?

Ya.  Cara Allah saja. Tapi kalau orang yang sedang mencari mursyid, itu biasanya ditaqdirkan berthariqah. Tanda-tandanya begini. Kalau belum ketemu, itu soal lain. Suatu ketika akan berthariqah.

Bapak sendiri pengamal thariqah juga?

Ya ada. Sadziliyah, Qodiriyah, Naqsyabandiyah. Tiga.

Bisa mengikuti tiga thariqah berbarengan?

Asal mursyidnya satu. Ibarat kapal, ini ada kapal, sekoci-sekoci, tapi nakhodanya satu. Kalau oh ini ada kapal, kapal, nakhodanya sendiri-sendiri, nggak bisa. Naik sebelah mana? Atau satu nih, nakhodanya banyak. Bingung. Nggak bisa. Silakan kita belajar kepada ulama, kiai, macam-macam ilmu pengetahuan. Tapi soal toriqoh, mursyidnya harus satu.

Kenapa?

Kalau belajar itu kan ibarat membuat menu yang bagus. Ibarat mobil, bengkel sana yang bagus, bengkel sini yang bagus. Tapi tujuan mobil ini kemana, ini harus ada satu tujuan.

Bukannya tujuan setiap thariqah itu sama?  Menghadap Gusti Allah?

Semua sama. Ini berkaitan dengan mursyid itu harus satu. Hati kita itu menolak untuk terbelah, sebenarnya.

Mursyidnya siapa, Pak?

Syekh Solahudin Abdul Jalil Mustaqin dari Tulung Agung.

Ada tokoh sufi atau buku yang paling dikagumi? 

Saya sangat mengagumi kitab al-Hikam.

Ibnu ‘Athoillah?

Ya.

Kenapa?

Karena Ibnu ‘Athoillah itu menyederhanakan wacana tasawuf yang universal sekali, disederhanakan beliau. Dari satu hikmah ke hikmah lain itu adalah urutan perjalanan psikografic para penempuh jalan Allah. Mengalami semua. Semua pengamal thariqah mana pun, mengalami seperti yang di al-Hikam itu. Ada lagi satu kitab, yang saya terjemah juga ke Indonesia, yaitu Risalatu Qusyairiyyah. Kitabnya al-Qusyairi itu kitab utama dalam dunia sufi. Ada lagi kitabnya Abu Thalib Al-Makki. Saya juga kagum sama tafsirnya Syekh Abdul Qodir Al-Jilani, yang enam jilid, yang baru ditemukan oleh cucunya itu. Kitab tafsir yang terbaik di dunia, sekarang ini, karena memadukan syariat dan tasawuf.

Apa nama tafsirnya, Pak?

Tafsir al-Jilani.

Kok bisa baru ditemukan, Pak?

Ditemukan oleh cucunya selama 30 tahun riset beliau dari berbagai perpustakaan di dunia, dan terbagus, terlengkap di Vatican.

Berceceran begitu, ya?

Iya.

Di Sunda, Manaqib Syekh Abdul Qodir Jilani dinamakan Layang Syekh. Itu sudah menyunda sekali. Orang sudah nggak paham, bahwa dulunya ini kegiatan orang thariqah. Itu bagaimana?

Itu nggak apa-apa. Ibaratnya begini, kalau toriqoh itu sebuah pohon, Qodiriyah, pohon ini, berbuah. Dia hanya memetik salah satu buahnya saja. Tapi tidak bisa diklaim ini adalah sebuah pohon, daun, bunga, dan buah. Salah satu buah saja.

Kalau yang semuanya, ya masuk thariqah itu?

Iya. Kita berharap sebanrnya, pelajaran tasawuf harus mulai masuk kurikulumnya mulai TK  sampai perguruan tinggi Islam.

Pendidikan Akhlak, Akidah Akhlak yang ada sekarang itu nggak cukup?

Nggak cukup. Jadi, karena begini, kalau kita lihat buku agama, itu isinya, iman, islam dan taqwa. Ihsannya itu hilang kemana. Hanya saja bagaimana dirumuskan, tasawuf untuk anak TK itu bagaimana. Sebenarnya yang mengajari akhlak juga sebanrnya buah dari tasawuf juga. Tapi harus lebih diperdalam. Misalnya zikir apa yang bisa membimbing anak-anak itu terus-menerus dengan Allah. Kalau saya begini, ngajarin tasawuf itu dari bayi. Contohnya, biasanya ibu-ibu, kalau punya anak, selalu mengajari anak-anak dengan ucapan bayi pertama kali; papa, mama, ibu, bapak, kalau saya nggak. Kalimat yang diajarkan pertama adalah Allah. Entah kedengarannyaawoh, awoh, awoh. Allah.

Di pelajaran, ada iman, ada Islam, dan ihsannya nggak ada. Apakah itu dimungkinkan karena tasawuf itu tidak terukur? Atau memang bagaimana?

Karena memang belum tersistematisir. Seperti ketika dalam munculnya ilmu tasawuf itu muncul baru di abad ketiga hijriyah. Kenapa tidak muncul di zaman sahabat? Karena, kata NABI, sebaik-baik abadku, khoiru quruni, qorni, tsuma qorni, tsuma qorni, tiga abad. Tiga abad ini, umat Islam masih utuh. Setelah itu, nggak karuan akhlaknya. Inilah, para sufi bergerak untuk mensistematisir, menulis buku tasawuf, ini, dan seterusnya. Dulu kenapa nggak ditulis, nggak kayak fiqih? Lha, orang kepribadiannya masih bagus semua, masih utuh. NU Online